Entri Populer

Kamis, 29 Maret 2012

PEMIKIRAN KALAM MODERN

1. Jamaludin Al-Afgani dan Muhammad Abduh
Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad 1254 H/ 1838 M. Madzhab yang dianut oleh Afgani adalah Hanafi. Meskipun ia mengikuti madzhab tertentu tetapi komitmennya terhadap Sunnah luar biasa. Ia juga konsisten terhadap pokok-pokok dan cabang dari madzhabnya, semangat beragamanya sebagaimana pengakuan orang-orang yang hidup pada masanya tak tertandingi. Pemikiran Afghani dan gaya hidupnya mempunyai beberapa karakteristik antara lain :
- Watak ruhiyyah yang bisa dilihat dari segala tindakan Afghani baik ketika mengucapkan kata-katanya atau ketika ia diam.
- Jiwa agamis yang melekat pada Afghani yang mewarnai semua ide-ide dan angan-angannya.
- Kesadaran Moral yang tinggi yang menguasai seluruh perbuatannya.
Afghani berusaha untuk menyemangati umat Islam untuk melakukan ijtihad dan tidak pasrah mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui landasan dalil alias bertaklid buta. Afghani juga mengkritisi kaum fatalis yang tidak mau berjuang untuk mengusir penjajah dan hanya mengharapkan turunnya pertolongan Allah tanpa melakukan usaha dan ikhtiar. Afghani juga mengatakan bahwa tak ada orang islampun baik ia Sunni, Zaidiyyah, Ismailiyyah, Wahabi, atau Khawarij yang berfaham Jabriyyah ( fatalisme ), bahkan semua aliran tersebut berpendapat bahwa manusia diberikan kebebasan untuk melakukan perbuatannya dan inilah sebenarnya arti dari kebijaksanaan Tuhan dan keadilannya sehingga hanya orang yang beramal baik yang akan mendapat pahala surga dan orang yang beramal jahat yang akan mendapat siksa neraka. Tapi seorang muslim yang lurus menurut Afghani harus meyakini kebenaran qadla` dan qadar sebab iman kepada keduanya didasarkan pada nash yang qath`I dan sesuai dengan fitrah manusia

Syekh Muhammad Abduh yang mempunyai nama lengkap Muhammad bin abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-buhairah, Mesir tahun 1849 M. Diantara pemikkiran-pemikiran kalam Muhammad Abduh yaitu:
 Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkemnbangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriyah)sebelum timbul perpecahan; yaknimemahami langsung dari sumber pokoknya AL-Qur’an.
 Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmidi kantor-kantor pemerintahmaupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
2. M. Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot tahun 1873 dan berasal dari kasta brahmana khasmir dari seorang ayah yang bernama Nur Muhammad yang yang menjadi guru pertamanya.
M.Iqbal lebih dikenal sebagai seorang filosof eksistensialis daripada seorang teolog, sehingga agak sulit untuk menemukan pandangannya mengenai wacana kalam, namun ia sering menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah islam.Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang bersifat statis. Menurut dia Islam, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan social manusia. Menurutnya tujuan diturunkannya Al-qur’an adalah untukmembangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menerjemahkan nas-nas Al-Qur’an yang masih globaldalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah.
Diantara pemikirannya dalam kalam yaitu tentang teologi, dia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan dan mendasarkan pada esensi tauhid. Dalam membuktikan eksistensi Tuhan Iqbal menolak kosmologis, ontologis maupun argument teleologis. Dalam setiap kuliahnya iqbal secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif, sedangkan tentang surga dan nerak adalah keadaan bukan tempat dan gambaran keduanya didalam Al-Qur’an adalah penampila-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya.

3. Hassan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo dari keluarga Musisi. Dari sekian banyak tulisan atau karyanya, Kiri Islam (Al-Yasar Al-islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952.
Diantara pemikiran kalam hasan hanafi yaitu tentang kritik terhadap teologi tradisional, ia berpendapat bahwa perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang terjadi. Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social pilitik.
Untuk itu kritik teolog merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Dan menurutnya, teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan melainkan ilmu tentang kata. Ia juga meletakkan teologi Islam tradisisonal pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci tapi ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara histories maupun eidetis.

Sabtu, 24 Maret 2012

ilmu kalam dan al-qur'an


Hubungan Ilmu Kalam dengan Tasawuf dan Al-Qur’an

MAKALAH
HUBUNGAN ILMU KALAM dengan TASAWUF dan
AL-QUR’AN
Makalah ini disusun untu memenuhi mata kuliah Ilmu Kalam
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami sebagai penyusun bisa menyelesaikan tugas membuat makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah yang berjudul “Hubungan Antara Ilmu Kalam dengan Tasawuf dan Al-Qur’an” ini membahas tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf yang dilihat dari segi persamaan, perbedaan dan titik singgungnya serta hubungan ilmu kalam dengan al-Qur’an.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula karya manusia. Tidak ada karya yang sempurna. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terjadi kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat membantu para pembaca untuk mengetahui hubungan ilmu kalam dengan tasawuf yang dilihat dari segi persamaan, perbedaan dan titik singgungnya serta hubungan ilmu kalam dengan al-Qur’an.
Surabaya, 20 Desember 2010
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………………..
Daftar Isi………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang…………………………………………………………..
1.2Rumusan Masalah………………………………………………………
1.3Tujuan………………………………………………………………………
1.4Batasan Masalah…………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Ilmu Kalam dengan Tasawuf ………………….
A. Titik Persamaan Ilmu Kalam dengan Tasawuf
B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam dengan Tasawuf
C. Titik Singgung Ilmu Kalam dengan tasawuf
2.2 Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an……………..
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan……………………………………………………………..
3.2 Saran……………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan Makalah
Ilmu kalam merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan. Masalah ketuhanan itu sendiri banyak dijelaskan dalam al-Qur’an dan tasawuf.
Kaum muslimin pada umumnya dan orang beriman pada khususnya mempunyai pedoman dan undang-undang yang diberikan oleh Allah kepada mereka, yaitu berupa kitab suci Al-qur’an.
Maka dari itu kami disini akan membahas tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf dan al-Qur’an.
1.2 Rumusan Masalah
Agar dalam penulisan makalah ini lebih mengarah dan efektif, kami merumuskan masalah yang akan kami bahas yaitu:
1.Bagaimana hubungan ilmu kalam dengan tasawuf?
2.Bagaimana hubungan ilmu kalam dengan Al-Qur’an?
1.3 Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.Menjelaskan tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf .
2.Menjelaskan tentang hubungan ilmu kalam dengan Al-Qur’an.
1.4 Batasan Masalah
Dalam makalah ini kami memberi batasan pada masalah yang kami uraikan. Kami menjelaskan tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf dan hubungan ilmu kalam dengan Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Ilmu Kalam dengan Tasawuf
A. Titik Persamaan Antara Ilmu Kalam dengan Tasawuf
Ilmu kalam dan tasawuf mempunyai kesamaan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Sementara objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, kedua ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Baik ilmu kalam maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya.
B.Titik Perbedaan Antara Ilmu Kalam dengan Tasawuf
Perbedaan diantara kedua ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika yang memberikan fungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama. Ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio.
Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri.
Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Sedangkan tasawuf berkembang menjadi tasawuf teoritis. Adapun tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.
C.Titik Singgung Antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah berupa dalil-dalil qur’an dan hadist. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pembahasan kalam. Ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid. Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf.
2.2Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an
Hubungan ilmu kalam dengan al-qur’an sangatlah erat. Hal itu dikarenakan Al-Qur’an memberikan motivasi sehingga memunculkan pemikiran dalam Islam. Yang dimaksud dengan pemikiran dalam Islam adalah sebagai upaya akal dari para ulama Islam untuk menerangkan Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al-Qur’an. Dengan perkataan lain bahwa pemikiran Islam merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh pemikiran muslim sejak Rasulullah SAW sampai sekarang. Sedangkan Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber yang memberikan motivasi manusia untuk berfikir. Oleh karena itu, melalui upaya interpretasi Al-Qur’an inilah, pemikiran-pemikiran terus berkembang dilingkungan umat Islam, termasuk didalamnya pemikiran-pemikiran kalami muncul.
BAB III
PENUTUP
3.2Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah tersebut, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.Bahwa ilmu kalam dengan tasawuf mempunyai titik persamaan yaitu terletak pada objek kajiannya. Baik kalam maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Apabila ada titik persamaan, sudah pasti ada titik perbedaannya. Perbedaan keduanya terletak pada aspek metodologinya.
2.Sedangkan hubungan antara ilmu kalam dengan Al-Qur’an yakni sangatlah erat sekali. Disini Al-Qur’an berperan dalam memberikan motivasi sehinnga memunculkan pemikiran dalam Islam.
3.2 Saran
Dari pembahasan makalah ini, kami mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1.Sebagai seorang umat islam yang baik hendaknya kita selalu berusaha terus untuk menuntut ilmu sampai akhir hayat.
2.Selagi kita masih diberikan kesempatan, hendaknya kita memperbanyak amal ibadah kita.
3.Dan selalu berpedoman pada Al-Qur’an, agar kita tetap berada dalam jalan yang lurus.
DAFTAR PUSTAKA
Razak, Abdul dkk. 2010. Ilmu Kalam. Bandung:Pustaka Setia
Ghazali, Adeng Muchtar. 2005. Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga
Modern.Bandung:Pustaka Setia

ilmu kalam


http://media.isnet.org/images/spacer.gif

Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid




Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(1/2)

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.

Pertumbuhan Ilmu Kalam

Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam."[10]


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Please direct any suggestion to Media Team

ilmu kalam,filsafat dan tasawuf


Posted by Syamsu Muzakki at Rabu, November 25 2012
Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat - Makalah - Makalah Tentang Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat 

BAB 1
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf adalah ilmu yang dilahirkan dari persentuhan umat Islam dengan berbagai masalah sosiocultural yang dihadapi oleh masyarakat sedang berkembang kala itu mencari dan mempertahankan kebenaran. Dari itu pula lahirlah para pakar dunia yang telah berhasil mempertahankan kebenara mereka masing- masing, walaupun dengan cara atau jalan yang ditempuh berbeda. Maka dari itu. Pada makalah ini akan memebahas hakekat Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat beserta hubungan ketigannya agar para pembaca mengetahui dan memahami hakikat ketiganya serta hubungan ketiganya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hakekat Ilmu Kalam itu?
2. Apa hakekat Tasawuf itu?
3. Apa hakekat Filsafat dan itu?
4. Bagaimana hunbungan Ilmu Kalam, tasawuf, dan filsafat?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
2. Mengetahui dan memahami hakekat tasawuf
3. Mengetahui dan memehami hakekat Filsafat
4. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat


BAB II
PEMBAHASAN


A. HAKIKAT ILMU KALAM

Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan'; pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah (Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal.  Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).

B. HAKIKAT TASAWUF

Pengertian Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.

Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."  Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.

Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda,  Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.

Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186

C. HAKIKAT FILSAFAT

Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.  Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kant yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)

D. HUBUNGAN ILMU KALAM, TASAWUF DAN FILSAFAT

Persamaan dan pebedaan
Dari uraian di atas, terdapat titik persamaan dan perbedaan antara Ilmu Kalam Filsafat, dan Tasawuf.
Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan dari ketiganya berusaha menemukan apa yang disebut Kebenaran (al-haq). Sedangkan perbedaannya terletak pada cara menemukan kebenarannya.
Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis). Kebenaran dalam Filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud) yakni tidak dapat dibuktikan dengan riset, empiris, dan eksperiment. Filsafat menemukan kebenaran dengan menuangkan akal budi secara radikal, integral, dan universal. Hubungannya; Dilihat dari titik persamaan dan perbedaan antara ilmu kalam, tasawuf dan filsafat, maka penulis dapat merumuskan hubungan dari ketiganya adalah saling menguatkan dan membantu dalam mencari kebenaran yang menjadi tujuan utama ketiganya. Walaupun dengan cara yang berbeda. Yaitu pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan mencari apa yang disebut kebenaran (al-haq).


DAFTAR PUTAKA
Saefuddin, Endang Anshori. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT bina Ilmu Offst Nata, abuddin. 2001. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. www.jadilah.com

Jumat, 23 Maret 2012

makalah akidah kalam:aliran teologi islam


MAKALAH AKIDAH KALAM I
PEMIKIRAN KALAM DARI KELOMPOK KHAWARIJ , MURJI’AH , JABARIYAH , QODARIYAH , MU’TAZILAH , SYI’AH DAN AHLUSSUNNAH



Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akidah Kalam yang diampu
Oleh Drs. H. Imam Faqih, MSI


Disusun Oleh :
Nama:Syamsu Muzakki
Semester : 2 A


SEKOLAH TINGGI  ILMU TARBIYAH NAHDLATUL ULAMA PACITAN
Jl.Brigjend. S Parman no.44B(0357)885635  PACITAN
2011/2012
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH Tuhan semesta alam,dalam waktu yang relatif singkat,makalah yang berjudul “Pemikiran Kalam dari Kelompok Khawarij,Jabariyah,qodariyah,Muktazilah.Syi’ah dan ahlussunnah” terselesaikan dengan baik.
Adanya makalah ini tentu saja melibatkan bantuan dari berbagai pihak.Untuk itu,kami ucapkan terimakasih kepada:
   1.Orang tua yang telah mendo’akan,membimbing,dan memberikan motivasi agar kami senantiasa rajin dalam menuntut ilmu.
   2. Drs. H. Imam Faqih, MSI, sebagai dosen pengampu mata kuliah Akidah Kalam I yang telah memberikan tugas dan memberikan arahan.
   3.Sahabat – sahabat yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu,kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa diharapkan.Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Mohon maaf  jika terjadi salah penulisan pada makalah ini.





Penyusun






DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................................      i
Kata Pengantar...................................................................................................................       ii       
Daftar Isi..............................................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang..........................................................................................................     1
1.2.Rumusan Masalah.....................................................................................................      1
1.3.Tujuan pembahasan..................................................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN
2.1.a. Kelompok KHAWARIJ........................................................................................     3
2.1.b.Pemikiran kalam kelompok KHAWARIJ.............................................................      6
2.2.a.Kelompok MURJI’AH...........................................................................................     6
2.2.b.Pemikiran kalam kelompok MURJI’AH...............................................................      8
2.2. a.Kelompok JABARIYAH......................................................................................     9
2.3. b.Pemikiran kalam kelompok JABARIYAH...........................................................     10
2.4.a.Kelompok QODARIYAH......................................................................................    11
2.4.b.Pemikiran kalam kelompok QODARIYAH..........................................................     11
2.5.a.Kelompok MUKTAZILAH...................................................................................     12
2.5.b.Pemikiran kalam kelompok MUKTAZILAH........................................................     13
2.6.a.Kelompok SYI’AH................................................................................................     14
2.6.b.Pemikiran kalam kelompok SYI’AH.....................................................................      15
2.7.a.Kelompok AHLUSSUNNAH................................................................................    16
2.7.b.Pemikiran kalam kelompok AHLUSSUNNAH....................................................      17
BAB III PENUTUP
3.Kesimpulan..................................................................................................................      19
Daftar Pustaka......................................................................................................................     20





                                        

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
1.2.Rumusan Masalah
Untuk menjelaskan serta memaparkan tentang aliran-aliran teologi islam,perlu dibuat rumusan masalah,yakni:
1.      Apa pengertian Kelompok Khawarij ? Dan bagaimana pemikiran kalam menurut Kelompok Khawarij ? 
2.      Apa pengertian Kelompok Murji’ah? Dan bagaimana pemikiran ilmu kalam menurut Kelompok Murji’ah ? 
3.      Apa pengertian Kelompok Jabariyah? Dan bagaimana pemikiran kalam menurut k Kelompok Jabariyah ? 
4.      Apa pengertian Kelompok Qodariyah ? Dan bagaimana pemikiran u kalam menurut k Kelompok Qodariyah ? 
5.      Apa pengertian Kelompok Mu’tazilah? Dan bagaimana pemikiran kalam menurut Kelompok Mu’tazilah ? 
6.      Apa pengertian Kelompok Syi’ah? Dan bagaimana pemikiran kalam menurut Kelompok Syi’ah ? 
7.      Apa pengertian Kelompok Ahlussunnah? Dan bagaimana pemikiran kalam menurut  Kelompok Ahlussunnah? 
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengerti dan mengetahui tentang aliran aliran teologi dalam islam.Selain itu diharapkan pembaca dapat memahami mana aliran yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW,Sehingga dalam pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari benar sesuai dengan ajaran islam yang kaffah.Selain itu mempunyai sebuah nilai kebijaksanaan,artinya tidak merasa paling benar dengan menyalahkan paham-paham lainnya.










BAB III
PEMBAHASAN



2.1..a.Kelompok  KHAWARIJ
Aliran Khawarij adalah salahsatu dari tiga aliran awal dalam pemikiran Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara pengikut Mu’awiyah dan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal. Penentangan pasukan ini terhadap ‘Ali diawali ketika ‘Ali menerima tipu muslihat ‘Amr bin Ash untuk mengadakan arbitrase. Dalam keadaan dilema, karena ada yang setuju dan tidak tentang hal ini. Dan terpecahlah pasukan ‘Ali jadi dua kelompok. Kelompok yang menjadi penentang ‘Ali ini memandang bahwa ‘Ali telah berbuat salah dan berdosa. Bukan hanya ‘Ali saja melainkan semua orang yang setuju dengan arbitrase ini yaitu Muawiyah, Amr bin Ash, Musa al-Asy’ari dan lainnya dianggap kafir dan murtad, mereka pantas dibunuh. Karena semboyan mereka “Laa hukma illa lillah” (tiada hukum selain hukum Allah).
Lambat laun kaum khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Karena perbedaan dalam konsep kafir, dipandang kafir tidak hanya orang yang menetapkan hukum dengan al-Quran tapi juga yang berbuat dosa besar. Menimbulkan pertanyaan Masihkan mukmin atau sudah kafir karena bertbuat dosa besar itu? Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi yaitu khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Persoalan yang seharusnya sarat akan politik akhirnya membawa pada timbulnya persoalan teologi.
Pandangan kaum khawarij tentang orang berdosa besar masihkan mukmin atau kafir menyebabkan timbulnya berbagai golongan di kalangan khawarij. Kaum Khawarij yang umumnya terdiri dari orang Badawi yang hidup dipadang  pasir tandus sehingga mereka hidup sederhana dalam cara hidup dan pemikiran. Sehingga ajaran-ajaran Islam dalam al-quran dan hadis mereka artikan menurut lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Iman yang tebal tapi sempit ditambah sikap fanatik menjadikan mereka tidak mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam walau hanya penyimpangan kecil.
Terjadinya perpecahan dalam beberapa sekte dalam kaum Khawarij, didasarkan perselisihan dalam pemikiran. Menurut al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi 18 subsekte dan menurut al-Baghdadi 20 subsekte dan menurut al-‘Asy’ari jumlah subsekte lebih besar lagi.

a.Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli terdiri dari pengikut ‘Ali pada awalnya disebut al-Muhakkimah. Bagi mereka ‘Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arnitrase bersalah dan kafir. Selanjutnya hukum kafir ini diluaskan sehingga yang termasuk didalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar seperti zina dan membunuh.
b.Al-Azariqah
Terletak diperbatasan Irak dengan Iran dan menurut al-Baghdadi pengikutnya berjumlah 20 ribu orang. Khalifah yang mereka pilih adalah Nafi’ ibn al-Azraq yang diberi gelar Amir al-Mu’min. Subsekte ini lebih radikal dari al-Muhakkimah, mereka tidak memakai term kafir tapi musyrik. Yang dianggap musyrik disini adalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan anak dan istri orang yang tak sepaham boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh. Menurut paham subsekte ini yang sebenarnya Islam hanyalah mereka, sedang kaum diluar lingkungan mereka disebut kaum musyrik.
c.Al-Najdat
Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah mulanya ingin bergabung dengan gol. Al-Azariqah. Namun, mereka bertemu pengikut Nafi’ al-Azariqah yang tidak sependapat bahwa orang Azraqi yang tidak mau hijrah ke lingkungannya disebut musyrik. Begitu juga yang tidak setuju tentang boleh dan halal membunuh anak istri orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Sehingga pengikut Najdah dan pengikut Nafi’ yang memisahkan diri bersepakat memilih Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi sebagai Imam mereka.
Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanya orang yang tak sepaham dengan mereka. Jika pengikutnya melakukan dosa besar akan mendapat siksa tapi bukan di neraka dan kemudian masuk surga. Dosa kecil baginya kan menjadi dosa besar jika dilakukan terus menerus dan akan menjadi musyrik. Mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui Allah dan RasulNya, haram membunuh orang Islam dan percaya yang diwahyukan Allah kepada RasulNya. Orang Islam disini ialah pengikut Najdah, selain itu tidak diwajibkan mengetahui.
Dalam kalangan Khawarij, golongan inilah yang pertama membawa faham taqiah yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan. Jadi seseorang boleh mengucap, melakukan yang menunjukan bahwa secara lahirnya bukan orang Islam, tapi pada hakikatnya tetap menganut Islam. Namun, ada pengikut yang tidak sependapat dengan semua pendapat itu, sehingga mereka memisahkan diri dan melakukan perlawanan.
d.Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut ‘Abd al-karim Ibn ‘Ajrad yang menurut al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari ‘Atiah al Hanafi. Kaum ini lebih bersifat lunak karena pemahaman mereka berhijrah bukanlah suatu kewajiban sebagaimana Al-Azariqah dan Al-Najdat tetapi hanya merupakan kebajikan. Disamping itu yang boleh dijadikan rampasan perang hanya harta orang yang telah mati terbunuh dan juga berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah. Dan mereka tidak mengakui Surat Yusuf sebagai bagian dari al-Quran. Golongan ini terpecah menjadi golongan kecil yang lain seperti golongan al-Maimuniah dan al-Hamziah, yang menganut paham qadariah, tetapi golongan al-Hazimiah dan golongan Syu’aibah menganut paham sebaliknya.
e.Al-Sufriah
Pemimpinnya adalah Ziad Ibn Al-Asfar, dalam pemahaman mereka dekat dengan golongan al-Azariqah. mereka berpendapat orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir, dan anak kaum musyrik tidak dibunuh. Dan tidak semua berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Daerah golongan Islam yang tak sepaham bukan daerah yang harus diperangi yang diperangi hanya pemerintahannya sedang anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.  Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam perbuatan. Bahkan untuk keamanan dirinya perempuan boleh kawin dengan lelaki kafir.
f.Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari kaum Khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah ibn Ibad tahun 668 M memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat ini dilihat dari pemikiran bahwa orang Islam yan tak sepaham bukanlah orang mukmin dan musyrik tapi kafir sehingga boleh diadakan pernikahan, hubunga waris dan haram membunuh mereka. Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esakan Tuhan tetapi bukan mukmin dan bukan kafir agama sehingga tidak membuat keluar dari agama Islam. Dalam harta rampasan perang, yang diperbolehkan hanya kuda dan emas sedang perak harus dikembalikan.
Golongan ini tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah, bahkan punya hubungan baik dengan Khalifah ‘Abd al-Malik Ibn Marwan. Perpecahan pemikiran sehingga menghancurkan golongan Khawarij, dan satu-satunya yang masih bertahan sampai saat ini adalah golongan al-Ibadiah.



2.1.b.Pemikiran kalam Kelompok Khawarij
Pemikiran atau doktrin yang dikembangkan Khawarij dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu :
1. Politik :
a.Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam,
b.Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
d.Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
e.Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng,
f.Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir,
g.Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
2. Teologi :
a.Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban ia harus dilenyapkan pula.
b.Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
Perkembangan selanjutnya, sebagaimana dijelaskan di depan, Khawarij yang mengusung  imamah-khilafah (politik) sebagai doktrin sentral memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainnya. Khawarij pecah menjadi beberapa sekte baik di dalam Khawarij sendiri maupun dari luar Khawarij dengan kelompok Islam lainnya dikarenakan sikap radikal selalu melekat pada mereka .
2.2.a Kelompok Murji’ah
Permasalahan Politik Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuata dosa besar yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan,Kaum inilah yang disebut kaum Murji’ah.
Kaum Murji’ah digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.
1. Golongan Moderat Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin.
2. Golongan Murji’ah Ekstrim Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
1. Kelompok Al-Jahmiyah Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen degan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya .
2. Kelompok Ash-Shalihiyah Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan dan Kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggamabarkan kepatuhan.
3. Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (polytheist).
4. Kelompok Al-Hasaniyah Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian tetap mukmin.
2.2.b.Pemikiran kalam Kelompok Murji’ah
Menurut kaum Murji’ah,untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid. Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Sedangkan Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu2:
1. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
4.Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompok Jahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT. Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan dan rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun dengan iman. Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur.
2.3.a. Kelompok Jabariyah.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti.
Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah(660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya
2.3.b.Pemikiran kalam Kelompok Jabariyah
Pemikiran-pemikiran menurut kaum jabariyah:
  1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
  2. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
  3. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
  4. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
  5. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
  6. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
  7. Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah
Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang disetir oleh remote kontrol.
Perbuatan, Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut Jabariyah. Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah.
2.4.a. Kelompok Qodariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Harun Nasition menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasqy. Ma’bad adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
2.4.b.Pemikiran kalam Kelompok  Qodariyah
Faham Qadariyah, bukanlah faham yang semata-mata disandarkan kepada akal fikiran saja. Terbukti, mereka banyak menjadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan penafsiran faham mereka, antara lain :
b. QS. Ali Imran: 165!
$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÏÎÈ  

165.  Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. QS. Ar-Ra’d : 11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
11.  Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pemikiran Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah.
2.5.a. Kelompok Muktazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi
2.5.b.Pemikiran Kalam Kelompok Muktazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah. Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam. Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.
Dalam Kitab al-Milal wan Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan kedua aliran ini tidak begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskna bahwa doktrin Qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
2.6.a. Kelompok Syi’ah
Syi’ah merupakan kelompok muslim pengikut Ali bin Abi Thalib dan penyokongnya. Mereka berpendapat bahwa penggantian Nabi Muhammad Saw dalam bidang pemerintahan adalah hak istimewa kalangan keluarga Nabi Muhammad Saw. Dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam, mereka adalah pengikut madzhab-madzhab ahlu al-bait (madzhab-madzhab keluarga Nabi Muhammad Saw). Jadi dapat dipahami bahwa Syi’ah adalah pengikut atau orang yang sangat loyal terhadap Ali bin Abi Thalib atau ahlul al-Bait .
Firqah ini tumbuh tatkala muncul seorang Yahudi mendakwakan dirinya sudah masuk Islam, namanya Abdullah bin Saba’. Al Baghdadi berkata: adalah ia (Abdullah bin Saba’) anak orang berkulit hitam, asal usulnya adalah orang Yahudi dari penduduk Hirah (Yaman), lalu mengumumkan keislamannya, dan menginginkan agar ia mempunyai kerinduan dan kedudukan di sisi penduduk negeri Kuffah, dan ia juga menyebutkan kepada mereka, bahwasanya ia membaca di Taurat, bahwa sesungguhnya bagi tiap-tiap nabi punya orang yang diwasiatkan, dan sesungguhnya Ali adalah orang yang diwasiatkan Muhammad Saw. Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib ra. lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad Saw. seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib ra. karena suatu nash (teks) Nabi Saw. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar , Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Saba’ menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib r.a. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syi’ah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syi’ah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri. Perkembangan Syi’ah bertahun-tahun lamanya gerakan Syi’ah hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syi’ah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi, Syi’ah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
2.6.b.Pemikiran kalam Kelompok Syi’ah
 Pemikiran Islam Syi’ah yang paling mendominasi adalah tentang imamah-khilafah (politik). Kaum Syi’ah berpendapat bahwa kekhalifahan imamahnya berdasarkan pengangkatan, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Mereka juga berpendapat, bahwa imamah, sepeninggal Ali, hanyalah berada di tangan keluarga Ali, kalaulah imamah itu jatuh ke tangan selain keluarganya, itu mungkin karena kesalahan yang dilakukan oleh sebagian mereka atau karena adanya penggelapan hak keimanan yang sah. Bagi mereka, imamah bukanlah perkara sipil yang disahkan melalui kehendak rakyat, tetapi merupakan perkara yang fundamental dan merupakan suatu unsur agama yang pokok.
Pada intinya, pemikiran-pemikiran Syi’ah, setidaknya ada tiga poin :
1.Yang berhak menjadi imam, yakni pemimpin masyarakat Islam baik dalam urusan keagamaan maupun urusan kenegaraan, harus menjadi hak waris bagi keluarga Nabi yakni Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya.
2.Imam itu hanya sah apabila mendapat nash atau diangkat oleh Nabi sendiri dan kemudian oleh imam-imam sesudahnya secara berurutan.
3.Setiap imam yang diangkat itu adalah ma’shum, akan terpelihara dari dosa  serta menerima anugerah keistimewaan-keistimewaan.
Di samping orang-orang yang berpandangan bahwa keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah saja yang berhak untuk menjadi imam kaum muslimin, terdapat pula pandangan yang menyebutkan bahwa yang berhak menjadi imam bukan hanya keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra (w. 12 H/633 M), tetapi asalkan dia keturunan Ali bin Abi Thalib ia berhak menjadi Imam. Oleh sebab itu, kelompok ini memandang bahwa anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang lahir dari perkawinan dengan siapapun berhak menjadi imam. Kelompok pertama disebut dengan Syiah Imamiah dan kelompok yang kedua disebut Syiah Kaisaniah. Kelompok Kaisaniah disebut demikian, karena dinisbahkan kepada Kaisan, salah seorang dari budak sahaya Ali bin Abi Thalib. Kelompok Syiah Kaisan berpendapat bahwa imam mereka setelah kematian Ali bin Abi Thalib ialah Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib dari perkawinannya dengan perempuan suku Bani Hanifah. Muhammad bin Hanafiyah mereka pandang sebagai imam Mahdi yang ditunggu (imam yang ditunggu kedatangannya di akhir zaman yang membawa keadilan dan kebenaran), sebelum lahir imam Mahdi-imam Mahdi yang lain.
2.7.a.Kelompok Ahlussunnah
ASWAJA  adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan  waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah  lebih mendahulukan  naql ( teks qu’an hadits)  daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij,  dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang  fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut  akidah sunni  (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,  yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga   Tasawuf Sunni,  yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
2.7.b.Pemikiran Kalam KelompokAhlussunnah
Secara global inti dari pemikiran ahlussunnah adalah sama,baik asy-ariyah maupun maturidiyah yakni:
1.     Menempatkan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah .
2.     Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan makhluk-nya.
3.     Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).
Jadi Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj Salafus Saleh, (mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) mendasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits, beriman kepada semua ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh menta’wilkannya. Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang ultra rasionalis-liberalis dan keduanya juga menentang aliran Musyabbihah-Mujasimah yang ultra tekstualis-literalis sehingga jatuh pada anthropomorpisme (menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai anggota tubuh (jism), duduk, datang, melempar dsb).



























BAB III
PENUTUP


3.1.KESIMPULAN
Persoalan akidah merupakan sebuah pesoalan yang sangatlah penting.Sebab akidah menentukan dalam pengaplikasian amalan agama dalam kehidupan.Dari uraian diatas,setidaknya kita bisa tahu tentang pemikiran kalam yang insyaallah benar dan sesuai dengan apa yang telah di ajarkan beliau Rasulullah SAW,yakni Ahlussunnah,yang beroedoman pada Al-Qur’an dan Hadits,serta ijma’dan qiyas.Namun meskipun kita berada pada suatu kelompok yang dianggap benar,namun kita tetap tidak boleh merasa paling benar dan menyalahkan yang lain.Sebagai generasi sekarang tentu sulit bagi kita untuk mengamalkan islam secara kaffah,Sebab kita tidak tahu beliau Rasulullah SAW secara langsung.Namun setidaknya kitaa telah berusaha untuk mengamalkan apa yang diajarkan beliau melalui perantara ulama’-ulama’.Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung,amin ya robbal’alamiin.

















DAFTAR PUSTAKA


·         Rozak, Abdul, Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, , CV Pustaka Setia, Bandung, 2007
·         Muchtar Ghazali, Adeng, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, CV Pustaka Setia, Bandung, 2005
·         Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
·         Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
·         Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
·         Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
·         http ://.www. ihwansalafy.wordpress.com