MAKALAH ASWAJA
SEJARAH ASWAJA dan PERKEMBANGANNYA
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia yang diampu
Oleh Bpk: Drs. H.
Imam Faqih, MSI
Disusun Oleh :
Syamsu Muzakki
Kelas
1 a Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI
ILMU TARBIYAH NAHDLATUL ULAMA PACITAN
Jl.Brigjend. S Parman no.44B(0357)885635 PACITAN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH Tuhan semesta alam,dalam
waktu yang relatif singkat,makalah yang berjudul “Sejarah Aswaja dan perkembangannya” terselesaikan dengan baik.
Adanya makalah ini tentu saja melibatkan bantuan
dari berbagai pihak.Untuk itu,kami ucapkan terimakasih kepada:
1.Orang tua yang telah mendo’akan,membimbing,dan
memberikan motivasi agar kami senantiasa rajin dalam menuntut ilmu.
2. Drs. H. Imam Faqih, MSI, sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia
yang telah memberikan tugas dan memberikan arahan.
3.Sahabat – sahabat yang telah membantu
menyelesaikan tugas ini.
Penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu,kritik dan saran yang membangun dari pembaca
senantiasa diharapkan.Semogamakalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya.Mohon maaf jika terjadi salah penulisan pada makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman judul............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
Daftar isi....................................................................................................................... iii
1.PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................... 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH.................................................................................... 1
1.3TUJUANPENULISAN................................................................................ 1
2.PEMBAHASAN
2.1.a Definisi dan Historis Aswaja.......................................................................... 3
1.b Memahami hadits Firqoh tentang Aswaja........................................................ 6
2.1.c Aswaja sebagai Manhaj
Al-Fikr..................................................................... 5
2.2.ASWAJA di INDONESIA.............................................................................. 6
2.2.a. Ahlussunnah
Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari................. 7
2.2.b .Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dianut NU........................... 8
3.PENUTUP
3. KESIMPULAN........................................................................................ 9
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa
Indonesia adalah bahasa yang digunakan sebagai
bahasa Negara di Republik Indonesia.Selain bahasa Negara,juga merupakan
bahasa persatuan.Akan tetapi,sebelum bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa Negara,bahasa
yang digunakan di Indonesia umumnya
adalah bahasa Melayu.melalui tahapan
yang panjang dan Seiring sejalan dengan perkembangan zaman,Bahasa Melayu
akhirnya berkembang menjadi Bahasa Indonesia.
Untuk itu,dalam makalah
ini akan dibahas mengenai sejarah bahasa Melayu serta perkembangan Bahasa Melayu sehingga menjadi
bahasa Indonesia
1.2 Perumusan Masalah
Untuk membahas makalah ini
lebih lanjut,diperlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana sejarah bahasa Melayu sebelum berkembang
menjadi bahasa Indonesia?
2.Bagaimana sejarah bahasa melayu setelah menjadi bahasa
Indonesia dan sudah mulai berkembang berubah dari aslinya?
Untuk
itu,dalam makalah ini akan dibahas kedua
rumusan masalah di atas.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memahami
serta mengetahui asal usul bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara di Republik
Indonesia,karena kita sebagai bangsa
Indonesia harus tahu tentang sejarah bangsa.
BAB II
2.1. ASWAJA
2.1.a Definisi
Dan
Historis Aswaja
ASWAJA adalah
kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang
yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah
berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi
Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad
SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat
(hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Istilah ahlussunnah waljamaah
tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan
al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah
( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada
masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan
khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah
(750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada
zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, al-Ma’mun
menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan
akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh
agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan
al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian
akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan
adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan
oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan),
sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa
al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak
terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan
mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya,
Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah
waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M)
dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah
dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran
muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori
Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits)
daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah
waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham
asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah
waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan
aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni
dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri
khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi
istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang
dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu
pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang
menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga
Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim
Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan
Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
2.1.b
Memahami Hadits Firqah
tentang aswaja
Ada beberapa riwayat hadits
tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan
landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits
tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena
tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang
kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua
di neraka kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang
selamat الفرقة الناجية)). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas
menyebutkan; ( أهل الســنة
والجمــاعة“) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.
(الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat; “
maa ana alaihi wa ashhabi” ((. baiklah penulis kutipkan
sebagian hadits tentang firqah atau millah:. ماأنا عليه وأصحا
عن عبد
الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لبأتين على أمتي ما
أتى على بني اســــرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من بأتي أمه علانية
لكان في أمتي من يصنع ذالك , وان بني اســـرائيل تفرقت على ثنتين وســبعين ملة,
وتفترق أمتي على ثلاث وســبعين ملة كلهم فى النار الا واحدة قالوا ومن هي يا رسول
الله ؟
قال : " مـــا أنا عليه وأصـــحابي". ( الترمذي و الآجري واللا
لكائي وغيرهم. حـــسن بشــواهد كثيرة )
Artinya: Dari Abillah Bin ‘Amr berkata, Rasulullah
SAW bersabda: “ Akan datang kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani
Israil. Mereka meniru perilakuan seseorang dengan sepadannya,
walaupun diantara mereka ada yang menggauli ibunya terang-terangan niscaya akan
ada diantara umatku yang melakukan seperti mereka. Sesungguhnya bani Israil
berkelompok menjadi 72 golongan. Dan umatku akan berkelompok menjadi 73
golongan, semua di neraka kecuali satu. Sahabat bertanya; siapa mereka itu
Rasulullah? Rasulullah menjawab: “ Apa yang ada padaku dan
sahabat-sahabatku “ ( HR. At-Tirmidzi, Al-Ajiri, Al-lalkai. Hadits hasan
)
عن أنس
بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه وســلم : " ان بني
اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي ستفترق على ثنــتين وسبعين
فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة " ( ابن ماجه وأحمد واللا
لكائي وغيرهم. هذا اســـناد جيد )
Artinysa: Dari Anas bin Malik berkata,
rasulullah SAW bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71
golongan dan sesungguhnya umatku akan berkelompok menjadi 72 golongan,
semua di neraka kecuali 1 yaitu al-jamaah”. (
HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai dan lain. Hadits sanad baik )
Dari pengertian hadits diatas
dapat difahami dan disimpulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad
(Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga
terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa
firqah.namun berapa jumlahnya? Bilangan 73 apakah sebagai angka pasti
atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam firqah itu masih diakui oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya, berarti apapun nama firqah
mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka asal masih mengakui
Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap
diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi
ma alainaa.’
Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu
mereka yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya
akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat
ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan
langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة
النـاجية (kelompok
yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di
berbagai tempat, masa dan jamaah. tidak harus satu
organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan
2.1.c ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter
Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena
itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis,
apa lagi ekstrim. Sebaliknya
Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang
sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma
dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya
implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi
al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang
berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi
implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang
kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik,
pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah
madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih
memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita
wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga
dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up
to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan
terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau
doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita
dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis
pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni
kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun
(keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang
mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri
ataupun kanan.
2.2ASWAJA di INDONESIA
2.1.a
Ahlussunnah Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari
KH.
Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama’ memberikan tashawur
(gambaran) tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam
al-qanun al-asasi, bahwa faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’
yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara
teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam
al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.
Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul
Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:
1.Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan
dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’ (جامع مانع) tapi itu merupakan gambaran (تصــور) yang akan lebih mudah kepada
masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas ( تصــد يق). Karena secara definitif tentang
ahlussunnah waljamaah para ulama berbeda secara redaksional tapi muaranya sama
yaitu maa ana alaihi wa ashabii.
2.Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari,
merupakan implimentasi dari sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah
waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian
terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh
madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi
3.Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan
‘wahabiyah’ (islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep
kembali kepada al-quran dan as-sunnah, dalam arti anti madzhab, anti
taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga dari
penjelasan aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan
As-sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit
sekali kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu
muqallid atau muttabi’ baik mengakui atau tidak.
2.4.bPaham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya
Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo
sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk
ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi
mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi
setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai
satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan
Ahlussunnah wal Jamaah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulamâ. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulamâ. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
(1) risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
(2) keharusan
mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat
untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau.
Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih)
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah al-Murîd, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah al-Murîd, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M.
Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Muhammad Ibn Abd
al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah
mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan
seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad
Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas
al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah
bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti
segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah tersebut mengalami proses pergulatan dan
penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham
keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jamaah mengalami kontekstualisasi yang beragam.
Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jamaah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai
paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah
Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang
bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh
NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH.
Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH.
Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut
generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah
Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal
Jamaah
adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari
dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang
fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada
sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits
tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat
lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran
Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di
antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan
oleh tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi,
yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan
pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR. Ibn Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa
Ahlussunnah wal Jamaah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para
pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19
Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa
Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh
jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya
dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw.,
yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya,
makna Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni
kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki,
Hanafi, Syafii, dan
Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur
al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam
bidang tashawuf. (21
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan
mazhab-mazhab mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab
yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan
yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk
melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam,
supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jamaah.
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan
pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah
wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni
Ahlussunnah wal Jamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara
berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu
generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti
bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas
sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri
jamiyyah NU, KH. M. Hasyim Asyari menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah
dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari
orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari
siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara
menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang
kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena
itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang
memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Quran, sunnah (perkataan, perbuatan dan
taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para
sahabatnya dan sunnah al-khulafâ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka
bagi NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimengerti sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma para
ulama. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat
dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan
menafsirkan ayat al-Quran maupun matn (isi) hadits
dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata
rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah
pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa
al-Jamaah yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy
(al-Quran dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy
ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran
akidah di luar Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur
dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan
akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân
secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang
dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat
meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga
berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
BAB III
3.KESIMPULAN
Dari
pemaparan penulis tentang ahlussunnah waljamaah, secara historis, teks hadits
dan penjelasan KH. Hasyim Asy’ari, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Secara
historis, ahlussunnah waljamaah menjadi nama sebuah firqah pada masa
pemerintahan abbasiah, akibat dari pergolakan pemikiran antara muktazilah dan
kelompok lain. Dalam pandangan ini ahlussunnah waljamaah adalah sebuah
“al-manhaj al-fikri”.
Pengklasifikasian
firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system
berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran
islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak
sampai keluar dari din al-islam.
Kelompok
yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang
mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab,
negara, generasi, tokoh atau lainnya
Nahdlatul
Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja
tidak hanya NU. Bias saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya
tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang
berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengtan konsep
ASWAJA.
Reinterpretasi
sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang
paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari
kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui
kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah
wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim
dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-fashl
fi al-milal wa al-ahwa’ wa an-nihal. Al-Imam Ibn Hazm Ad-dzahiri Al-Andalusi.
2. Ahlussunnah
waljamaah; maalim al-inthilaqah al-kubra. Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry
3. Al-Qanun
Al-Asasi. KH. Hasyim Asy’ari
4. Ensiklopedi
Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar