Entri Populer

Jumat, 23 Maret 2012

makalah aswaja,,

MAKALAH ASWAJA
SEJARAH ASWAJA dan PERKEMBANGANNYA


Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia yang diampu
Oleh Bpk: Drs. H. Imam Faqih, MSI
Disusun Oleh :
Syamsu Muzakki
Kelas 1 a Pendidikan Agama Islam

SEKOLAH TINGGI  ILMU TARBIYAH NAHDLATUL ULAMA PACITAN
Jl.Brigjend. S Parman no.44B(0357)885635  PACITAN
2011/2012


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH Tuhan semesta alam,dalam waktu yang relatif singkat,makalah yang berjudul “Sejarah Aswaja dan perkembangannya” terselesaikan dengan baik.
Adanya makalah ini tentu saja melibatkan bantuan dari berbagai pihak.Untuk itu,kami ucapkan terimakasih kepada:
   1.Orang tua yang telah mendo’akan,membimbing,dan memberikan motivasi agar kami senantiasa rajin dalam menuntut ilmu.
   2. Drs. H. Imam Faqih, MSI, sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas dan memberikan arahan.
   3.Sahabat – sahabat yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu,kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa diharapkan.Semogamakalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Mohon maaf  jika terjadi salah penulisan pada makalah ini.





Penyusun




DAFTAR ISI


Halaman judul............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................................  ii
Daftar isi.......................................................................................................................           iii
1.PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................................  1         
1.2 PERUMUSAN MASALAH.................................................................................... 1
1.3TUJUANPENULISAN................................................................................        1
2.PEMBAHASAN
2.1.a Definisi dan Historis Aswaja.......................................................................... 3
1.b Memahami hadits Firqoh tentang Aswaja........................................................   6
     2.1.c Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr..................................................................... 5
     2.2.ASWAJA di INDONESIA..............................................................................   6
   2.2.a. Ahlussunnah  Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari.................                   7
     2.2.b .Paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut NU...........................          8
3.PENUTUP
3. KESIMPULAN........................................................................................         9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................          10










BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan sebagai  bahasa Negara di Republik Indonesia.Selain bahasa Negara,juga merupakan bahasa persatuan.Akan tetapi,sebelum bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa Negara,bahasa yang digunakan di Indonesia  umumnya adalah bahasa Melayu.melalui  tahapan yang panjang dan Seiring sejalan dengan perkembangan zaman,Bahasa Melayu akhirnya berkembang menjadi Bahasa Indonesia.
Untuk itu,dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah bahasa Melayu serta perkembangan Bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa Indonesia

1.2 Perumusan Masalah
Untuk membahas makalah  ini lebih lanjut,diperlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana sejarah bahasa Melayu sebelum berkembang menjadi bahasa Indonesia?
2.Bagaimana sejarah bahasa melayu setelah menjadi bahasa Indonesia dan sudah mulai berkembang berubah dari aslinya?
       Untuk itu,dalam makalah ini akan dibahas  kedua rumusan masalah di atas.

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta mengetahui asal usul bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara di Republik Indonesia,karena kita sebagai bangsa Indonesia harus tahu tentang sejarah bangsa.











BAB II



2.1. ASWAJA
2.1.a Definisi Dan Historis Aswaja
   
      ASWAJA  adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan  waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
    Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
    Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah  terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah,  al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (  ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik,  al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
    Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah  lebih mendahulukan  naql ( teks qu’an hadits)  daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij,  dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang  fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut  akidah sunni  (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,  yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga   Tasawuf Sunni,  yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
 
2.1.b Memahami Hadits Firqah tentang aswaja

     Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di neraka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat الفرقة الناجية)). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan;   ( أهل الســنة والجمــاعة“) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi”  ((. baiklah penulis  kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:. ماأنا عليه وأصحا
 
        عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لبأتين على أمتي ما أتى على بني اســــرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من بأتي أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذالك , وان بني اســـرائيل تفرقت على ثنتين وســبعين ملة, وتفترق أمتي على ثلاث وســبعين ملة كلهم فى النار الا واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله  ؟ قال : " مـــا أنا عليه  وأصـــحابي". ( الترمذي و الآجري واللا لكائي وغيرهم. حـــسن بشــواهد كثيرة )

Artinya: Dari Abillah Bin ‘Amr berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Akan datang kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani Israil.  Mereka meniru  perilakuan seseorang dengan sepadannya, walaupun diantara mereka ada yang menggauli ibunya terang-terangan niscaya akan ada diantara umatku yang melakukan seperti mereka. Sesungguhnya bani Israil berkelompok menjadi 72 golongan. Dan umatku akan berkelompok menjadi 73 golongan, semua di neraka kecuali satu. Sahabat bertanya; siapa mereka itu Rasulullah? Rasulullah menjawab: “ Apa yang  ada padaku  dan sahabat-sahabatku “ ( HR. At-Tirmidzi, Al-Ajiri, Al-lalkai. Hadits hasan )    
 
        عن أنس بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه وســلم : " ان بني اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي ستفترق على ثنــتين وسبعين فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة " ( ابن ماجه وأحمد واللا لكائي وغيرهم. هذا اســـناد جيد )

Artinysa:  Dari Anas bin Malik berkata, rasulullah SAW bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71 golongan dan sesungguhnya  umatku akan berkelompok menjadi 72 golongan, semua di neraka kecuali 1 yaitu al-jamaah”.      ( HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai dan lain. Hadits sanad baik )
 
    Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disimpulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah.namun berapa jumlahnya? Bilangan 73  apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam  firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,  berarti  apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka  asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana  wa alaihi ma alainaa.’
Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu  mereka  yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa  dan jamaah.   tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan
2.1.c ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
           
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.

2.2ASWAJA di INDONESIA

2.1.a  Ahlussunnah  Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari
        
           KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama’ memberikan  tashawur (gambaran)  tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.
           Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:
1.Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari,  jangan dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’ (جامع مانع) tapi itu merupakan gambaran (تصــور) yang akan lebih mudah kepada  masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran  dan pemahaman secara jelas ( تصــد يق). Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa ashabii.
2.Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi dari sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah waljamaah  sejak  masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi
3.Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as-sunnah, dalam arti  anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali  kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu muqallid atau muttabi’  baik mengakui atau tidak.  
      

2.4.bPaham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut NU
Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi. 


Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.
KH. M.  Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama
ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulamâ. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
(1) risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13  karena hidup bermazahab itu lebih       dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih)
           Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama
ah, KH. M. Hasyim Asyari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah al-Murîd, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jamaah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jamaah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya.  Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR. Ibn Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19  Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti  Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf. (21 
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jamaah.
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jamiyyah NU, KH. M. Hasyim Asyari menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Quran, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimengerti sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jamaah yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Quran dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.








BAB III

3.KESIMPULAN
       Dari pemaparan penulis tentang ahlussunnah waljamaah, secara historis, teks hadits dan penjelasan KH. Hasyim Asy’ari, maka  dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara historis, ahlussunnah waljamaah menjadi nama sebuah firqah pada masa pemerintahan abbasiah, akibat dari pergolakan pemikiran antara muktazilah dan kelompok lain. Dalam pandangan ini ahlussunnah waljamaah adalah sebuah “al-manhaj al-fikri”.
Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-islam.
Kelompok yang selamat adalah  sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya
Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja  tidak  hanya NU. Bias saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa  saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengtan konsep ASWAJA.
Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan  menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.









DAFTAR PUSTAKA


1. Al-fashl fi al-milal wa al-ahwa’ wa an-nihal. Al-Imam Ibn Hazm Ad-dzahiri Al-Andalusi.
2. Ahlussunnah waljamaah; maalim al-inthilaqah al-kubra. Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry
3. Al-Qanun Al-Asasi. KH. Hasyim Asy’ari
4. Ensiklopedi Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar