MAKALAH BAHASA INDONESIA
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA MELAYU
MENJADI BAHASA INDONESIA
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia yang diampu
Oleh Ibu Ardiani Rahma Riswani S.Pd,
Disusun
Oleh :
Kelompok
1 :
1.Epi
Sulandari
2.Erny
Yunita
3.Fasta bikhul choiri
4.Nur Hidayati
5.Syamsu Muzakki
6.Tumilah
SEKOLAH TINGGI
ILMU TARBIYAH NAHDLATUL ULAMA PACITAN
Jl.Brigjend.
S Parman no.44B(0357)885635 PACITAN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi ALLAH Tuhan semesta alam,dalam waktu yang relatif singkat,makalah
yang berjudul “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa Melayu Menjadi
Bahasa Indonesia” terselesaikan dengan baik.
Adanya
makalah ini tentu saja melibatkan bantuan dari berbagai pihak.Untuk itu,kami
ucapkan terimakasih kepada:
1.Orang tua yang telah mendo’akan,membimbing,dan memberikan motivasi
agar kami senantiasa rajin dalam menuntut ilmu.
2.Ibu Ardiani Rahma Riswani S.Pd, sebagai dosen pengampu mata kuliah
Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas dan memberikan arahan.
3.Sahabat – sahabat yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
Penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu,kritik dan saran yang
membangun dari pembaca senantiasa diharapkan.Semogamakalah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Mohon maaf jika
terjadi salah penulisan pada makalah ini.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................ii
1.PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
1
1.2 PERUMUSAN MASALAH
1
1.3TUJUANPENULISAN..........................................................................1
2.PEMBAHASAN
2.1
SEJARAH BAHASA MELAYU SEBELUM BERKEMBANG
MENJADI
BAHASA INDONESIA
2
2.2 SEJARAH BAHASA MELAYU SETELAH BERUBAH DAN
BERKEMBANG MENJADI BAHASA INDONESIA
6
3.PENUTUP
3. KESIMPULAN..................................................................................8
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa Indonesia adalah
bahasa yang digunakan sebagai bahasa
Negara di Republik Indonesia.Selain bahasa Negara,juga merupakan bahasa
persatuan.Akan tetapi,sebelum bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
Negara,bahasa yang digunakan di Indonesia
umumnya adalah bahasa Melayu.melalui
tahapan yang panjang dan Seiring sejalan dengan perkembangan
zaman,Bahasa Melayu akhirnya berkembang menjadi Bahasa Indonesia.
Untuk itu,dalam makalah
ini akan dibahas mengenai sejarah bahasa Melayu serta perkembangan Bahasa Melayu sehingga menjadi
bahasa Indonesia
1.2 Perumusan Masalah
Untuk membahas makalah ini
lebih lanjut,diperlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana sejarah bahasa Melayu sebelum
berkembang menjadi bahasa Indonesia?
2.Bagaimana sejarah bahasa melayu setelah menjadi bahasa
Indonesia dan sudah mulai berkembang berubah dari aslinya?
Untuk
itu,dalam makalah ini akan dibahas kedua
rumusan masalah di atas.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memahami
serta mengetahui asal usul bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara di Republik
Indonesia,karena kita sebagai bangsa
Indonesia harus tahu tentang sejarah bangsa.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah bahasa Melayu sebelum berkembang menjadi bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu,
sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua
franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi
ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini
menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya
oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah
Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari
Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa
Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan
dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi
beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari
Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai
Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu
kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau
Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah
geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri
di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti
disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke
pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi
Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman
berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu
Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya
berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin
meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi
Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci,
Palembang dan Bengkulu.Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung
Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke
Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan
Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka(Semenanjung Malaysia)
yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah
bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang
di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis
tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan
Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan,
jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari
pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu
kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak
Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan
pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai.
Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna,
sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai
sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara,
yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu
Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang
panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu
sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim)
yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur
etnis.
M.Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan
Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku),
bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di
Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa,
Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada
beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa
Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan
peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata
pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan
bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad
ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap
sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay).
Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh
semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang
menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah
ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam
yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu,
kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur,
cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh
Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan
masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata
untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu,
sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan
kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak,
polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga
lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka
yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata
Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari,
seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang
Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia
timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian
lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur
dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses
pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara,misalnya di Manado,Ambon,
dan Kupang.
Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa
Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu
Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai
sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu
(sejak akhir abad ke-19).Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada
pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus
ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini
adalah bahasa yang full-fledged,
sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki
kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan
terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat
Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu
Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat
dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa
kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
2.2 Sejarah bahasa Melayu
setelah berubah dan berkembang menjadi bahasa Indonesia.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu
dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari
bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk
baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan
dibentuknya Commissie voor de
Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908.
Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan
D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa
instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua
tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi
diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli
sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan
bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa
yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu.
Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan
kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan
menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.
KESIMPULAN
Dari
uraian pembahasan tadi dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1.Masa
Lalu Sebagai Bahasa Melayu :
Bahasa
Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan di Nusantara kemungkinan sejak
abad-abad awal penanggalan modern.Bahasa melayu semakijn lama semakin mengalami pergeseran,karena
adanya faktor – faktor yang mempengaruhinya,seperti adanya migrasi penduduk
yang menyebabkan percampuran
logat,sehingga bahasa melayu yang ada beberapa varian berkembang
2.Perkembangan
sebagai bahasa Indonesia :
Setelah kedatangan
bangsa eropa,bahasa asing mulai
memperkaya terhadap bahasa melayu,sehingga bahasa melayu terus mengalami perkembangan.Dan
mengacu dari berbagai varian bahasa yg ada di Indonesia bahasa melayu dan
bahasa jawa lah yang diharapkan menjadi bahasa persatuan.Namun akhirnya lambat
laun dari keduanya bahasa melayu lah yang akhirnya menjadi bahasa persatuan.
3.Faktor- faktor mengapa bahasa melayu digunakan sebagai
bahasa Indonesia:
- Bahasa Melayu sudah digunakan
sebagai bahasa perhubungan(lingua franca).
- Ditinjau dari segi
fonologi,morfologi,dan sintaksis, bahasa melayu lebih mudah daripada bahasa
lainya di nusantara.
- Bahasa Melayu mudah menerima
masukan dari bahasa lain.
- Bahasa Melayu sejak dulu
sudah digunakan untuk penyebaran agama islam.
- Penyesuaian lafal kata sesuai
dengan Bahasa Indonesia.
- Pada masa penjajahan
Belanda,Bahasa Melayu sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bahasa
transisi.
DAFTAR
PUSTAKA
-http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
-http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar