Entri Populer

Jumat, 23 Maret 2012

makalah bahasa indonesia


MAKALAH BAHASA INDONESIA
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA MELAYU MENJADI BAHASA INDONESIA
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia yang diampu
Oleh Ibu Ardiani Rahma Riswani S.Pd,
Disusun Oleh :
Kelompok 1 :
1.Epi Sulandari
2.Erny Yunita
3.Fasta bikhul choiri
 4.Nur Hidayati
 5.Syamsu Muzakki
            6.Tumilah
SEKOLAH TINGGI  ILMU TARBIYAH NAHDLATUL ULAMA PACITAN
Jl.Brigjend. S Parman no.44B(0357)885635  PACITAN
2011/2012


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH Tuhan semesta alam,dalam waktu yang relatif singkat,makalah yang berjudul “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia” terselesaikan dengan baik.
Adanya makalah ini tentu saja melibatkan bantuan dari berbagai pihak.Untuk itu,kami ucapkan terimakasih kepada:
   1.Orang tua yang telah mendo’akan,membimbing,dan memberikan motivasi agar kami senantiasa rajin dalam menuntut ilmu.
   2.Ibu Ardiani Rahma Riswani S.Pd, sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas dan memberikan arahan.
   3.Sahabat – sahabat yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu,kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa diharapkan.Semogamakalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Mohon maaf  jika terjadi salah penulisan pada makalah ini.





Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
1.PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH 1
1.3TUJUANPENULISAN..........................................................................1
2.PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH BAHASA MELAYU SEBELUM BERKEMBANG
     MENJADI BAHASA INDONESIA 2
2.2 SEJARAH BAHASA MELAYU SETELAH BERUBAH DAN
   BERKEMBANG MENJADI BAHASA INDONESIA 6
3.PENUTUP
3. KESIMPULAN..................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................9















BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan sebagai  bahasa Negara di Republik Indonesia.Selain bahasa Negara,juga merupakan bahasa persatuan.Akan tetapi,sebelum bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa Negara,bahasa yang digunakan di Indonesia  umumnya adalah bahasa Melayu.melalui  tahapan yang panjang dan Seiring sejalan dengan perkembangan zaman,Bahasa Melayu akhirnya berkembang menjadi Bahasa Indonesia.
Untuk itu,dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah bahasa Melayu serta perkembangan Bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa Indonesia

1.2 Perumusan Masalah
Untuk membahas makalah  ini lebih lanjut,diperlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana sejarah bahasa Melayu sebelum berkembang menjadi bahasa Indonesia?
2.Bagaimana sejarah bahasa melayu setelah menjadi bahasa Indonesia dan sudah mulai berkembang berubah dari aslinya?
       Untuk itu,dalam makalah ini akan dibahas  kedua rumusan masalah di atas.

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta mengetahui asal usul bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara di Republik Indonesia,karena kita sebagai bangsa Indonesia harus tahu tentang sejarah bangsa.








BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Sejarah bahasa Melayu sebelum berkembang menjadi bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu.Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka(Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M.Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara,misalnya di Manado,Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

2.2 Sejarah bahasa Melayu setelah berubah dan berkembang menjadi bahasa Indonesia.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.




















BAB III

PENUTUP


3. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan tadi dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:

1.Masa Lalu Sebagai Bahasa Melayu  :
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.Bahasa melayu semakijn lama semakin mengalami pergeseran,karena adanya faktor – faktor yang mempengaruhinya,seperti adanya migrasi penduduk yang menyebabkan  percampuran logat,sehingga bahasa melayu yang ada beberapa varian berkembang

2.Perkembangan sebagai bahasa Indonesia :
Setelah kedatangan bangsa eropa,bahasa  asing mulai memperkaya terhadap bahasa melayu,sehingga bahasa melayu terus mengalami perkembangan.Dan mengacu dari berbagai varian bahasa yg ada di Indonesia bahasa melayu dan bahasa jawa lah yang diharapkan menjadi bahasa persatuan.Namun akhirnya lambat laun dari keduanya bahasa melayu lah yang akhirnya menjadi bahasa persatuan.
3.Faktor- faktor mengapa bahasa melayu digunakan sebagai bahasa Indonesia:
- Bahasa Melayu sudah digunakan sebagai bahasa perhubungan(lingua franca).
- Ditinjau dari segi fonologi,morfologi,dan sintaksis, bahasa melayu lebih mudah daripada bahasa lainya di nusantara.
- Bahasa Melayu mudah menerima masukan dari bahasa lain.
- Bahasa Melayu sejak dulu sudah digunakan untuk penyebaran agama islam.
- Penyesuaian lafal kata sesuai dengan Bahasa Indonesia.
- Pada masa penjajahan Belanda,Bahasa Melayu sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bahasa transisi.



DAFTAR PUSTAKA


-http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
-http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar