BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang.
Hadits Nabi merupakan marja’iyah
al’ulya ajaran Islam . eksistensinya secara hierarki adalah referensi kedua
setelah al-Quran. Sebab itu hadits Nabi terintegrasi ke dalam ranah ilahiyah.
Integrasi itu ditandai dengan adanya pemberian mandat otoritas dari Allah swt
kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan secara sempurna (bayan ka’mil) bahasa
Tuhan (baca al-Quran), sehingga ia tampil menjadi sebuah petunjuk dalam
mewujudkan kemaslahatan dan membangun peradaban umat manusia dalam realitas
hidup.
Eksistensi hadits tidak bisa
dipisahkan dengan al-Quran. Hal itu karena al-Quran dengan kemujma’lannya
(global) tidak sanggup merespon secara rinci segala persoalan kemanusiaan yang
terus bergerak dinamis tanpa dukungan hadits yang berfungsi sebagai pemberi
bayan ka>mil yang komprehensif, universal dan aplikatif . Hadits wajib ada
di sisi al-Quran, bahkan tidak ada al-Quran tanpa sunnah atau hadits. Karena
itu, secara fungsional keduanya mempunyai hubungan interelasi kuat yang saling
melengkapi dalam membangun aturan hidup (guideline) sebagai acuan mukallaf.
Hanya saja hadits tidak sekuat
al-Quran yang telah menyatakan dirinya sebagai kitab yang la> raiba fi>h.
Perjalanan penukilan hadits yang melalui proses panjang dari generasi ke
generasi, tersebar di berbagai sudut negeri, serta diberitakan oleh periwayat
dalam jumlah yang tidak sedikit, dan dengan syakhsiyah yang berbeda, membuat
hadits tidak bisa terhindar dari keterputusan sanad, dan atau kecacatan
periwayat. Oleh karena itu, dalam kaidah kesahihan hadits, salah satu
syarat penting yang sering dipergunakan dalam menentukan validitas hadits
adalah ‘adam al-‘illat atau gaer al-mu’allal (tidak cacat). Bahwa sebuah hadits
tidak dapat dianggap sahih meskipun telah dipastikan bersambung sanadnya dengan
periwayat yang s|iqat hingga dapat dijaminkan terbebas dari ‘illat (cacat).
Hanya saja, syarat ghair al-mu‘all
sebagai salah satu kaidah kesahihan hadits banyak permasalahan yang perlu
ditinjau, seperti urgen tidaknya memasukkan syarat tersebut dalam kaidah
keshahihan hadits, diillatkannya banyak hadits yang telah ditetapkan
kesahihannya, diillatkannya periwayat yang siqat dan lainnya. Maka tulisan ini
mengkaji atau mengurai kembali ‘illat dan mengeksplorasi
permasalahan-permasalahannya.
1.2.Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas,
makalah ini akan fokus mengkaji ‘illat sebagai salah satu syarat keshahihan
hadits, bentuk dan sebab ‘illat, dan permasalahan-permasalahan yang timbul
padanya.
1.Apakah ‘Illat
itu?
2.bagaimana ’Illat
dan kaidah keshahihan hadits?
3.bagaimana
Terjadinya ‘Illat dalam hadits.?
4.apa saja
jenis-jenis ‘Illat dalam hadits.?
5.apa saja
Sebab-sebab terjadinya ‘Illat itu?
1.3.Tujuan Pembahasan.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hadits.Selain itu penulis berharap
dengan ditulisnya makalah ini akan membawa manfaat,khususnya bagi penulis
sendiri maupun bagi pembaca umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian ‘Illat.
Kata ‘illat secara etimologis berasal dari kata ‘alla-ya’illu
; yang berarti ; 1). marid}a (sakit) atau dha’if (lemah) . Diartikan sakit karena dengan keberadaannya merubah keadaan
yang kuat menjadi lemah . 2). Al-hadas (peristiwa) yang menyibukkan seseorang
dari hajat (kebutuhannya). 3). Al-sabab (sebab) . Untuk ‘illat dengan arti
sebab umumnya dipakai oleh ulama fiqih dan ushul.
Sedangkan ‘illat (yang kemudian masyhur diartikan
kecacatan) menurut pengertian ulama hadits adalah ibarat atau ungkapan dari
sebab-sebab yang tersembunyi yang merusak pada hadits, padahal secara zahirnya
hadits selamat atau terhindar darinya (sebab ‘illat). Sebab yang tersembunyi
tersebut kemudian merusak kesahihan hadits . Ini berarti bahwa ‘illat salah
satu titik fokusnya adalah adanya kecacatan yang tersembunyi.Terkadang‘illat
diartikan secara umum dan luas tidak hanya karena sebab yang tersembunyi,
tetapi juga karena sebab yang tidak tersembunyi (nyata) .
‘Illat dalam artian ini adalah segala bentuk kecacatan
yang menimpa suatu hadits
apakah karena kedustaan perawi, atau gaflah, ataupun su’u al-hifz. Imam
Tirmizi bahkan menganggap nasakh sebagai ‘illat. Imam Al-Khalili membagi hadits
sahih ke dalam beberapa pembagian; shahih muttafaq ‘alaih, shahih mu’allal, dan shahih mukhtalaf fi’h . Berkaitan dengan hal ini, Mahmud al-Thahhan
menyebut ‘illat karena sebab tersembunyi dengan istilah ‘illat
terminologis, sedangkan yang tidak tersembunyi disebutnya sebagai ‘illat
non-terminologis
Untuk membedakan ‘illat terminologis dari ‘illat
non-terminologis yang disebutkan ulama, harus memenuhi dua syarat ; pertama
kecacatan tersebut tidak tampak dan tersembunyi. Kedua, merusak keshahihan
hadits. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, seperti ‘illat itu nyata
atau tidak merusak, maka tidak dikatakan ‘illat .
Hadits yang di dalamnya terdapat‘illat yang merusak kesahihan hadits padahal secara zahirnya selamat dari kecacatan itu disebut sebagai hadits mu’allal atau mu’all dan disebut juga ma’lul . Hadits ini kemudian ditempatkan sebagai salah satu hadits dhaif (lemah) kategori al-tha’nu fi al-ra’wi (kecacatan periwayat).
Hadits yang di dalamnya terdapat‘illat yang merusak kesahihan hadits padahal secara zahirnya selamat dari kecacatan itu disebut sebagai hadits mu’allal atau mu’all dan disebut juga ma’lul . Hadits ini kemudian ditempatkan sebagai salah satu hadits dhaif (lemah) kategori al-tha’nu fi al-ra’wi (kecacatan periwayat).
Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa ‘illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang menimpa suatu
hadits yang telah ditetapkan kesahihannya. Ini ‘illat diperuntukkan untuk membedah
hadits-hadits yang sudah dinyatakan shaih, sedangkan hadits yang statusnya
sudah jelas sebagai hadits dhaif, tidak dikaji
lagi.
Tujuannya adalah menyingkap kemungkinan adanya penyakit yang tersembunyi di
dalamnya, yang pada tampilan luarnya terbebas dari penyakit.Jika demikian
halnya, bisa jadi ada sebuah hadits sudah dinyatakan kesahihannya berdasarkan
syarat-syarat global (zahir) kesahihan hadits, tetapi karena ditemukan
kecacatan yang tersembunyi di dalamnya, maka label sahih pada hadits tersebut menjadi
gugur.
2.2.‘Illat dan Kaidah Kesahihan Hadits
Menurut Ibnu Shalah, hadits sahih adalah;
2.2.‘Illat dan Kaidah Kesahihan Hadits
Menurut Ibnu Shalah, hadits sahih adalah;
الحديث الصحيح فهو
الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه،
ولا يكون شاذاً ولا معللاً.
Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya yang dinukil oleh
periwayat yang ‘adil dan dhabit dari periwayat
yang sama (‘adil dan dhabit} ) hingga terakhir (jalur periwayatan), tidak syadz| dan tidak mu’allal.
Sedangkan Al-Nawawi membahasakannya dengan ;
الحديث الصحيح هو مااتصل سنده بنقل بالعدول الضابطين من غيرشذوذ ولا علة
Sedangkan Al-Nawawi membahasakannya dengan ;
الحديث الصحيح هو مااتصل سنده بنقل بالعدول الضابطين من غيرشذوذ ولا علة
Yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan dinukil oleh periwayat yang
‘adil dan dhabit tidak syuzuz dan tidak ‘illat.
Pada defenisi Ibnu Shalah disebutkan kata wa la mu’allal untuk menyatakan hadits
terbebas dari kecacatan. Hal ini berbeda dengan Al-Nawawi yang menyebutnya
dengan kalimat wa la ‘illat. Sekilas memiliki kesamaan makna, tetapi
sesungguhnya berbeda.Penggunaan wa la mua’llal lebih detail dari perkataan wa la
‘illat. Kata ‘illat merupakan kata umum yang mencakup padanya ‘illat yang qadihah
maupun yang gairu qadihah atau illat dzahirah atau khafiyah. Jika disebutkan dengan kata wa la ‘illat maka perlu
penjelasan tambahan wa la illat qadihah khafiyah. Hal tersebut berbeda jika
dikatakan wa la mu’allal, di mana tidak membutuhkan penjelasan tambahan, sebab
kaidah menyatakan bahwa hadits mu’allal hanyalah hadits yang dipastikan
adanya’illat qadihah khafiyah, jika ‘illatnya dzahirah atau tidak qadihah maka bukan mu’allal .Dengan demikian kalimat la
mu’allal lebih kuat dibandingkan dengan kalimat la ‘illat, dan merupakan
pengertian yang bersifat jami’ mani’
Pengertian ‘illat (cacat) di sini bukan hanya dalam
pengertian umum tentang kecacatan periwayat karena ketidak adilan dan ketidak dhabitnya periwayat, seperti karena kadzab (pendusta) atau karena tidak kuat hafalan ataupun
karena kefasikan. Tetapi adanya kecacatan yang terselubung pada suatu hadits
yang tidak tampak secara zahir, dan tertutupi kesahihan dzahiriyah, baik karena kecacatan itu dapat tersingkap setelah dibedah lebih
dalam dengan pisau kritik tajam oleh orang-orang cerdas dan paham betul
kedudukan hadits. Maka hadits yang sebelumnya aman dalam kesahihannya, akhirnya
tercacatkan setelah ditemukan adanya cacat padanya.
Argumen yang mendasari lahirnya unsur terhindar dari
kecacatan (‘illat) menurut Syuhudi Ismail bukanlah argumen naqli tetapi
hanyalah argumen metodologis, karena hadits yang dinilai ber’illat adalah
hadits yang telah dinilai berkualitas sahih, itu pun diketahui setelah
dikumpulkan semua jalur sanadnya. Sedangkan fungsi pokok unsur terhindar dari
‘illat telah tertampung di dalam unsur-unsur sanad bersambung dan periwayat
bersifat dhabit dan atau tamm al-dhabit. Alasan inilah kemudian Syuhudi Ismail menganggap la mu’allal atau
gair ‘illat tidak perlu ditetapkan sebagai kaedah mayor tetapi ia hanyalah
salah satu unsur kaidah minor dari unsur kaidah mayor periwayat dhabit atau tamm al-dhabit .
Apa yang dikemukakan oleh Syuhudi di atas adalah
sangat beralasan karena memang periwayat yang dhabit adalah
periwayat yang tidak ada cacatnya. Tetapi ‘illat yang dimaksud dalam perspektif
umum yang mencakup keseluruhan makna ‘illat baik yang khafiyah maupun yang
tidak. Sedangkan ‘illat yang dimaksudkan dalam defenisi di sini adalah ‘illat
khusus yang khafiyah gamidah.
Maka kami melihat penyebutan
tidak berillat dalam kaidah kesahihan hadits bertujuan untuk membedakan antara
illat qadihah khafiyah dengan qadihah zahiriyah. Dengan adanya kata tidak
ber’illat maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah kecacatan yang
tersembunyi, baik pada periwayat (orang), mata rantai sanad maupun matannya.
Hal ini sama dengan penyebutan secara tegas periwayat‘adil dan dhabit dan bukan hanya kata shiqat, walaupun periwayat shiqat adalah yang‘adil
dan dhabit.
Penetapan kata ‘adil dan dhabit secara jelas, tegas dan bukan kata shiqat dalam defenisi hadits sahih, karena para ulama berbeda dalam
mendefenisikan shiqat. Sebagian berpendapat bahwa shiqat adalah para periwayat yang tidak dijarh. Sedang
sebagian memaksudkan shiqat kepada periwayat yang benar-benar mendengar dari
syaikh (guru)nya meskipun periwayat tersebut su’ al-hifz (jelek hafalan) atau mugaffal (mudah lupa) . Dengan demikian,
keadilan dan kedabitan periwayat tidak sebatas variabel pendukung yang dapat
membantu terbuktinya kebersambungan hadits, tetapi merupakan variabel utama
dalam menentukan sahih tidaknya hadits. Maka ini juga berlaku bagi la mu’allal,
bahwa kedudukannya adalah sama dengan kelima syarat kesahihan hadits yang
lainnya.
2.3. Terjadinya ‘Illat Dalam Hadits
‘Illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan, dan pada sanad dan
matan sekaligus, tetapi mayoritas ‘illat hadits terjadi pada sanad . Terjadinya
‘illat bisa jadi karena sanad hadits terputus seperti; 1). Sanad yang tampak
muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tapi mauquf. 2). Sanad yang tanpak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tapi mursal. ‘Illat
juga diterjadi\ karena periwayat yang tidak dhabit} misalnya; 1). Terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain.
2). Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena adanya lebih dari seorang
periwayat yang memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama shiqat. Pada matannya terjadi salah satu jenis idraj,
atau adanya penambahan padanya yang bersatus sy’adz
a. Contoh ‘illat pada sanad
ما رواه يعلي بن عبيد عن سفيان الثوري عن عمرو بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار...
a. Contoh ‘illat pada sanad
ما رواه يعلي بن عبيد عن سفيان الثوري عن عمرو بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار...
Menurut Ibnu Shalah hadits tersebut bersambung, diriwayatkan dari periwayat
adil dari periwayat adil, matannya sahih tetapi sanadnya mu’allal tidak shahih.
Pada hadits ini,‘illat terjadi karena adanya kesalahan Ya’la bin ‘Ubaid yang
menyebut Amru bi Dinar, padahal yang dibenar adalah Abdullah bin Dinar .
b. Contoh ‘Illat pada Matan
b. Contoh ‘Illat pada Matan
Salah satu contoh ‘illat matan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim bin Hajjaj dengan jalur tunggal dari Al-Walid bin
Muslim, sebagaimana berikut ini :
من رواية الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ قَتَادَةَ ؛ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ : قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ { الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
Artinya : Dari Al-Walid bin Muslim, Al-Auza’i, Qatadah ; Ia menulis kepada Al-Auza’i yang mengabarkan dari Anas bin Malik, bahwasanya Anas menceritakan kepadanya, berkata : Aku pernah shalat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman, mereka membuka (shalatnya) dengan bacaan hamdalah.
Menurut Al-Suyuti, hadits di atas telah terjadi ‘illat
pada matan karena Al-Walid bin Muslim menambahkan صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam matan haditsnya.Padahal menurut riwayat
Malik jalur Humaid, Anas bin Malik tidak menyebutkan “di belakang Nabi saw”.Lengkapnya
hadits sebagai berikut :
وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّهُ قَالَ : قُمْتُ وَرَاءَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ
كَانَ لَا يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِذَا افْتَتَحَ
الصَّلَاةَ
Bahkan hadits riwayat Muslim tersebut setelah dibedah
dengan pisau ‘illat,ditemukan ada sembilan‘illat di dalamnya yaitu ;
bertentangan dengan mayoritas Huffaz (penghafal), inqitha’(terputus), tadlihs al-taswiyah pada Al-Walid, al-kitabah, penulis yang
tidak diketahui, idzthira’b dalam lafaznya, idraj, dipastikan ada yang
bertentangan dari (periwayat) sahabat, dan bertentangan dengan hadits yang
riwayat mutawatir
Menyikapi kasus hadits di atas, bagi penulis ada
persoalan yang urgen untuk dipahami, dimana Imam Muslim menerima hadits ini dan
memposisikannya sebagai hadits sahih. Padahal kalau kita berangkat dari
kesimpulan Al-Suyuti, maka sesungguhnya hadits ini tidak hanya cacat pada aspek
matannya, tetapi juga pada sanadnya sekaligus. Apakah Imam Muslim tidak
mengetahui hal tersebut? ataukah ia tahu, tetapi ia memiliki standar penilaian
tersendiri sehingga tetap menerima dan meriwayatkannya dan menuliskannya dalam
kumpulan hadits sahihnya?
Demikian pula pada mata rantai riwayat al-Auza’y dan
Qatadah misalnya, meskipun sanad kedua periwayat ini bersambung, tetapi apakah
Imam Muslim tidak mengetahui, kalau Qatadah adalah orang yang buta secak lahir
(walad akmah)? Sehingga tidak mungkin riwayat yang didengarnya dari Anas dapat
dituliskannya sendiri kepada Al-Auza’i. Maka pastilah ada yang dijatuhkan dalam
mata rantai riwayat ini, yaitu khatib (penulisnya).
Dari temuan adanya ‘illat pada hadits riwayat Muslim jalur Qatadah ini, sesungguhnya menguatkan pentingnya naqd hadits, sanad dan matannya. Bahkan jika berangkat dari kasus ini, kita bisa berkesimpulan bahwa dengan “pisau kritik” ‘illat hadits, hadits-hadits yang sahih belum terjamin kejernihan dan validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.
Dari temuan adanya ‘illat pada hadits riwayat Muslim jalur Qatadah ini, sesungguhnya menguatkan pentingnya naqd hadits, sanad dan matannya. Bahkan jika berangkat dari kasus ini, kita bisa berkesimpulan bahwa dengan “pisau kritik” ‘illat hadits, hadits-hadits yang sahih belum terjamin kejernihan dan validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.
Tetapi perlu diketahui bahwa kritik atau pembedahan
dilakukan untuk menyingkap apa yang menimpa para periwayat shiqat dari kesalahan dan wahm (kekeliruan) , bukan
untuk meruntuhkan otoritas hadits sahih, tetapi upaya tashfiyah (penjernihan), dan tahqiq (pembuktian kebenaran), sehingga hadits
benar-benar terhindar dari segala kecacatan, baik yang kecacatan yang nyata
maupun kecacatan tersembunyi. Karena bisa jadi ‘illat tersembunyi di balik
kesahihan sanad hadits atau kes|iqatan periwayat tanpa diketahui. Al-Hakim
mengakui banyaknya ‘illat yang terjadi pada hadits-hadits shiqat. Mereka meriwayatkan hadits yang terdapat di
dalamnya ‘illat, tetapi luput dari pengetahuannya maka hadits itu menjadi
mu’allal.
Thariqah (metode) tashfiyah dan tahqiq dalam memastikan mu’allal tidaknya
hadits adalah, dengan mengumpulkan semua jalur hadits kemudian melihat
perbedaan periwayatnya, kedhabitan periwayat, dan
itqannya. Menurut Ibn Al-Madini, sebuah hadits jika jika tidak dikumpulkan
jalurnya, maka tidak akan tanpak kesalahannya.Dengan demikian pendekatan utama
dalam memastikan kecacatan yang tersembunyi di dalam hadits sahih,pertama,pendekatan
komparatif, mengumpulkan semua jalur hadits, untuk kemudian membandingkannya
antara riwayat satu dengan riwayat lain.Kedua, pendekatan hafalan (terhadap
sanad, matan dan periwayat), sehingga mampu membaca, melihat dan memastikan kualitas hadits terutama kualitas semua periwayatnya.
2.4. Jenis-jenis ‘illat dalam Hadits
Imam Al-Hakim mengungkapkan sepuluh jenis kecacatan di dalam hadits .
Tetapi penulis hanya akan menyebutkan sebagiannya saja, untuk lebih lengkapnya
kembali kepada kitabnya Ma’rifah Ulu’m al-Hadits|.
a. Hadits yang mahfudz dari sahabat, tetapi pada jalur terdapat periwayatan
dua orang periwayat atau lebih dari dua negeri yang berbeda. Seperti orang
Madinah dari orang Kufah yang jika mereka meriwayatkan hadits, mereka
“tergelincir” dalam periwayatan. Contohnya ;
عن موسي بن عقبة عن أبي اسحاق عن ابي بردة عن ابيه مرفوعا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Artinya : Musa bin ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari Abu
Burdah dari bapaknya (marfu’) ; bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“sesungguhnya Aku beristigfar dan bertoba kepada-Nya dalam sehari seratus kali”
b. Periwayat meriwayatkan hadits dari seseorang yang
dikenal dan mendengar hadits darinya, tetapi ada hadits-hadits tertentu yang ia
tidak dengarnya, apabila ia meriwayatkan hadits-hadits tersebut tanpa perantara
(periwayat lain). maka terjadilah ‘illat.Contohnya :
عَنْ روح بن عبادة قال حدثنا هشام بن ابي عبد الله عن يحي بن أبي كثير عن أنس
بن مالك أن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إِذَا أَفْطَرَ
عِنْدَ أَهْلِ بَيْتٍ قَالَ : أَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ
طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ
Artinya : Dari Yahya bin Abu Katsir dari Anas bin Malik : bahwasanya Nabi saw apabila ia berbuka puasa di rumah seseorang pemilik rumah, beliau berkata : telah berbuka orang-orang yang puasa di sisi kalian, dan makananmu dimakan oleh orang-orang baik, dan Malaikat turun kepada kalian.
Artinya : Dari Yahya bin Abu Katsir dari Anas bin Malik : bahwasanya Nabi saw apabila ia berbuka puasa di rumah seseorang pemilik rumah, beliau berkata : telah berbuka orang-orang yang puasa di sisi kalian, dan makananmu dimakan oleh orang-orang baik, dan Malaikat turun kepada kalian.
Menurut Al-Hakim : Kita memastikan adanya riwayat
Yahya bin Abi Kasir dari Anas bin Malik, hanya saja hadits ini, ia tidak dengar
langsung. Karena berdasarkan jalur lain terdapat kata حُدثت antara Yahya bin
Abi kasir dengan Anas bin Malik
c. Adanya perbedaan dalam penamaan syekh atau majhul. Contoh :
c. Adanya perbedaan dalam penamaan syekh atau majhul. Contoh :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ غِرٌّ كَرِيمٌ وَإِنَّ الْفَاجِرَ خَبٌّ لَئِيمٌ
Tidak majhul Majhul
عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سُفْيَانُ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
d. Hadits mursal berdasarkan adanya keterangan dari
riwayat shiqat huffadz
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْحَمُ أُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهَا فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهَا حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهَا بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَقْرَؤُهَا لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيٌّ وَأَعْلَمُهَا بِالْفَرَائِضِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
Menurut Al-Hakim : ‘Illat pada sanad hadits ini adalah riwayat Khalid Al-Khazza dari Abu Qilabah. Karena seandaianya sanad hadits ini sahih, pastilah diriwayatkan di dalam kitab sahih (Bukhari atau Muslim). Karena adanya hadits lain yang memiliki kesamaan pada potongan hadits tersebut yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا وَإِنَّ أَمِينَنَا أَيَّتُهَا الْأُمَّةُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
e. Terjadi wahm dengan nyata pada tingkatan tabi’in . seperti hadits:
عَنْ زيهْر بنْ مُحَمَّدِ عن عثمان بن سليمان عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أنه سَمِع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّور
Menurut Al-Hakim; hadits ini ma’lul karena tiga hal ;
Usman adalah Ibnu Abi Sulaeman (bukan Ibnu Sulaeman ), Usman meriwayatkan dari
dari Nafi’ bin Jubair bin Mut’im dari bapaknya, Abu Sulaeman (dari bapaknya)
tidak pernah mendengar dari Nabi saw dan tidak pernah melihatnya.
f. hadits riwayat ‘an’anah dan jatuh salah seorang rijalnya, yang kemudian diketahui setelah mendapatkan pada jalur lain yang mahfudz. Contoh :
عن يونس عن ابن شهاب عن علي بن الحسين عن رجال من الانصار : أنهم كانوا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فرمى بنجم فاستنار
Menurut Al-Hakim ; bahwasanya Yunus yang terkenal dengan hafalan, dan kemuliaannya terjadi kekeliruan pada aspek ini karena menyandarkan langsung kepada orang-orang Ansar, padahal yang benar adalah dari Ibnu Abbas berkata : Ibnu Abbas meriwayatkan dari orang-orang Ansar. Ini bisa dibandingkan dengan riwayat Muslim yang menyebutkan Abdullah bin Abbas
2.5. Sebab – Sebab
terjadinya ‘Illat
Ada banyak aspek
penyebab terjadinya ‘illat pada hadits dikemukakan Ibnu Rajjab ketika mensyarah
kitab ‘illalnya Imam al-Tirmizi. Sebab-sebab tersebut kemudian disimpulkan dan
dikumpulkan oleh Hammam bin Abdurrahim Sai’d menjadi delapan sebab , yaitu
;
a. Sebab umum.
Bahwa manusia tidak
ada yang memiliki kesempurnaan paripurna dan kema’suman selain Rasulullah saw.
Pada dasarnya manusia bisa benar bisa salah, bisa ingat bisa juga lupa, bisa
teliti bisa juga lalai. Maka hal yang wajar jika terjadi wahm dan kesalahan
pada diri sahabat, tabi’in dan ulama-ulama hadits terdahulu (mutaqaddimun).
Para huffadz yang hampir tidak ada kesalahan dalam haditsnya, sehingga ia berada pada
tingkatan tertinggi periwayat hadits, mereka tidak dapat disifatkan dengan al-dhabt al-ta’mm al-kamil (kedabitan yang
sempurna).
Ibnu Ma’in berkata ;
“siapa yang tidak punya kesalahan dalam hadits maka dia berdusta”. Orang-orang
yang paling siqat sekalipun tetap saja punya kesalahan. Sebagaimana Ahmad
mengatakan ; “adalah Imam Malik orang paling siqat tetapi ia juga melakukan
kesalahan”. Sa’in bin al-Musaib melakukan wahm terhadap Ibnu abbas dalam hadits
perkawinan Rasulullah dengan Maemunah. Bahkan Aisyah telah melakukan wahm
terhadap beberapa sahabat dalam riwayat mereka.
b. Khaf al-dhabt, banyak wahm¸meskipun
tetap dalam keadilannya.
Yaitu mereka yang
ahlul hifz wa sidq tetapi terjadi banyak wahm dalam haditsnya. Seperti ‘Atha
al-Khueasany, Syarik bin Abdullah al-Nakha’i,
c. Al-Ikhtilat. Al-Ikhtilat
adalah kehilangan akal (pikun) yang terjadi di akhir umur periwayat sehingga
merusak pengetahuannya.
d.Khaf al-dhabt karena sebab yang
insidental (‘ar-ridhah).
Sebab insidental adalah adanya persoalan yang dihadapi periwayat sehingga mempengaruhi kedhabit-annya, tetapi tidak mempengaruhi pengetahuannya (idrak). Di antara sebab khaff al-dhabt pada periwayat yang menyebabkan wahm adalah ;
Sebab insidental adalah adanya persoalan yang dihadapi periwayat sehingga mempengaruhi kedhabit-annya, tetapi tidak mempengaruhi pengetahuannya (idrak). Di antara sebab khaff al-dhabt pada periwayat yang menyebabkan wahm adalah ;
- Kesibukan-kesibukan
yang mengalihkan dirinya dari menghafal, menulis dan kedabitan, seperti menjadi
hakim atau kesibukan lainnya. Syarik bin Abdullah al-Nakha’i adalah seorang
periwayat yang shuduq. Riwayat hadits darinya sebelum menjadi hakim di Wasit (155 H) adalah
sahih, tetapi setelah menjadi hakim hafalannya rusak (mudhtharib). Demikian pula Hafz bin Giyaz dis|iqatkan oleh ulama, tetapi setelah
ia menduduki jabatan hakim di Bagdad dan Kufah hafalannya rusak (suh al-hifz).
- Periwayat siqat yang
buta tetapi berpegang kepada kitabnya. Sebab ini bisa dilihat pada kasus
Qatadah yang menuliskan hadits kepada muridnya Al-Auza’i, padahal Qatadah
adalah orang yang buta. Atau periwayat yang tiba-tiba mengalami kebutaan.
e. Singkat atau
terbatasnya waktu yang dimiliki periwayat bersama gurunya.
Waktu yang dipergunakan seorang periwayat bersama gurunya akan menentukan kwalitas periwayatan. Sebab itu, diterimanya suatu hadits tidaklah cukup hanya melihat derajat kesiqatan periwayat, tetapi juga harus mengetahui susunan sanad dan mengetahui kesertaan (mumah-rasah) dan kebersamaannya setiap periwayat bersama syekhnya.
Misalnya Al-‘Auzai dan Ma’mar meriwayatkan hadits dari Al-Zuhri. Meski Al-‘Auza’i lebih senior, tetapi isnad Ma’mar dianggap lebih kuat dan sahih karena kebersamaan Ma’mar bersama Zuhri lebih lama dibandingkan dengan Al-Auza’i.
Waktu yang dipergunakan seorang periwayat bersama gurunya akan menentukan kwalitas periwayatan. Sebab itu, diterimanya suatu hadits tidaklah cukup hanya melihat derajat kesiqatan periwayat, tetapi juga harus mengetahui susunan sanad dan mengetahui kesertaan (mumah-rasah) dan kebersamaannya setiap periwayat bersama syekhnya.
Misalnya Al-‘Auzai dan Ma’mar meriwayatkan hadits dari Al-Zuhri. Meski Al-‘Auza’i lebih senior, tetapi isnad Ma’mar dianggap lebih kuat dan sahih karena kebersamaan Ma’mar bersama Zuhri lebih lama dibandingkan dengan Al-Auza’i.
f. Menyingkat
Hadits atau Riwayat dengan Makna
Meriwayatkan hadits
dengan makna pada dasarnya dibolehkan, tetapi jika periwayat tidak iltizam
dengan syarat kebolehannya, maka akan menjadi pintu masuknya illat pada hadits
tersebut.Misalnya hadits tentang haidnya ‘Aisyah pada saat melaksanakan haji.
Beberapa periwayat di antaranya Ibnu Majah meriwayatkan dengan singkat dan
meletakkannya dalam bab fi al-hha-id kayfa tagtasil, padahal hadits tersebut
bukan perintah kepada ‘Aisyah untuk mandi pada saat berhenti dari haid
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا وَكَانَتْ حَائِضًا انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي قَالَ عَلِيٌّ فِي حَدِيثِهِ انْقُضِي رَأْسَكِ
Bandingkan dengan hadits riwayat Bukhari berikut ini ;
حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ
g. Terjadinya tadlis periwayat yang shiqat
Termasuk illat hadits
yang diungkap pengkritik hadits adalah terputusnya sanad (tadlis isnad), atau
riwayat dari seorang yang bukan namanya atau bukan kunniyahnya (tadlis
syuyukh). Contohnya bisa dilihat pada jenis illat bagian kedua.
h. Riwayat dari orang yang Majruh dan lemah
Tidak diragukan bahwa
periwayat yang telah difonis majruh (cacat) atau daif adalah hadits yang
ber’illat. Bahkan kecacatannya bukanlah sesuatu yang tersembunyi tetapi sesuatu
yang nyata. Sebab itu sebab kedelapan ini merupakan sebab kecacatan dalam
artian umum, baik yang tersembunyi maupun yang nyata.
Dari uraian di atas
kita dapat memahami bahwasanya jenis –jenis illat dan sebab-sebab terjadinya
merupakan keberhasilan capaian para kritikus hadits dalam membedah sanad, matan
dan periwayat hadits, meskipun temuan-temuannya itu juga masih banyak ditentang
oleh ulama hadits lain. illat hadits telah menyingkap perawi yang siqat dengan
yang lebih siqat, perawi yang pernah siqat kemudian mengalami kecacatan yang
tidak terjamah dalam jarh wa tadhil.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan.
illat dari sisi syarat kesahihan hadits bertujuan
untuk membedakan antara illat qadihah khafiyah dengan qadihah zahiriyah. Sebab
itu ia menjadi salah satu syarat utama kesahihan hadits sama dengan ittisahl sanad dan bukan sebatas variabel pelengkap atau
kaidah minor. Sedangkan dari sisi fungsi illat merupakan pisau bedah
lanjutan al-jarh wa ta’dil untuk mengkritisi hadits – hadits yang sudah
dinyatakan kesahihannya secara zahiriah namun kemudian terdapat kecacatan yang
tersembuyi karena sebab-sebab tertentu, seperti periwayat siqat yang sibuk
dengan jabatan yang merusak hafalannya, periwayat siqat yang mengalami kebutaan
dan sebagainya.
Jenis-jenis illat dan sebab-sebab terjadinya ‘illat
yang dikemukakan ulama menunjukkan bahwa hadits-hadits yang sahih yang
diriwayatkan oleh periwayat yang s}iqa>t belum terjamin kejernihan dan
validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali
hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.
3.2.Implikasi
• Permasalahan ‘Illat
hadits memberikan arti penting dalam kehidupan beragama bahwa, tidak ada
manusia yang memiliki kesempurnaan, bisa jadi secara lahiriahnya adalah baik,
tetapi mengandung kecacatan yang tidak tampak. Tidak terkecuali para periwayat
yang sangat menjaga kwalitas dirinya dalam meriwayatkan hadits
• Dalam menyikapi
hadits perlu ada pemahaman yang dalam, klarifikasi yang menyeluruh sebelum
menetapkan kedudukan hadits tersebut dan sebelum menjadikannya sebagai hujjah
syariat supaya tidak terjadi kekeliruan dalam beragama.
Daftar
Pustaka
‘Abdu al-Ha>di, Abd al-Muhdi bin ‘Abd al-Qa>dir>, al-Madkhal ila
al-Sunnah al-Nabawiyah, (Dar al-‘Itisam, Mesir, 1998 )
Al-‘Adawy, Abu Abdullah Mustafa, syarh} ‘ilal al-h{adis| ma’a asilatih wa ‘ujubah (Maktabah Makkah al-nasyir, T}ant}a, 2004).
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (194-256 H), Al-Ja>mi’ al-s}ah}i>h} al-musnad min hadis| Rasulillah saw. wa sunanihi wa ayya>mih, Juz 2, (Al-Matba’ah Al-Salafiyah wa Maktabatuha, Kairo, 1403 H).
Al-Hanbali, Abdurrahman bin Ahmad bin Rajjab >, Syarh} ‘ilal al-Tirmi>zi>, juz 1, (Dar al-Malah li al-taba’ah, tk, 1978).
Al-Jazairy, Abul-Harits Muhammad bin Ibrahim As-Salafy, Syarh} al-manz}u>mah al-baiqu>niyah diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah dengan Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits ; Penjelasan mandhumah al-Baiquniyah, (Maktabah al-Ghuroba, Solo, 2008),
Al-Madiny, Ali bin Abdullah bin Ja’far al-Sa’dy, Al-‘Ilal (al-Maktab al-Islami, Libnan, 1980)
Al-Majid ‘Alwan, Muhammad al-Sayyed Abdu Dirasat al-t}ulla>b ‘ala al-naz}r fi> ‘ilm al-as|ar, (tt,tk, 1995)
Al-Nawawi, S}ah}i>h} Muslim syarh} Yahya bin Syaraf >, juz 4, (Dar al-fikr, Beirut, 1995).
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Al-Qardawi, Yusuf, al-Marja’iyah al-‘ulya fi> al-Islam li al-Qur’an wa al-Sunnah, diterjemahkan oleh Burhanuddin Fannani dalam al-Quran dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam, (Robbani Press, Jakarta, tt)
Al-Syahrazuri >, Abu Amr Usman bin Abdurrahman ‘Ulum al-hadis| li ibn al-S{alah, (Dar al-Fikr, Libnan, 1998)
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abu al-Fadl ‘abdu al-Rahman Tadri>b al-ra>wi fi> syarh{ taqri>b al-nawawi>, (Dar al-Fikr, Libnan, 1993).
Al-Thahhan Mahmud, Taesir mus}t}alah al-hadis,| (Dar al-fikr, Beirut, tt)
Ibn Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Al-‘ilal wa ma’rifah al-rija>l, (Dar al-Khani, Riyadh, 2001)
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Al-‘Adawy, Abu Abdullah Mustafa, syarh} ‘ilal al-h{adis| ma’a asilatih wa ‘ujubah (Maktabah Makkah al-nasyir, T}ant}a, 2004).
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (194-256 H), Al-Ja>mi’ al-s}ah}i>h} al-musnad min hadis| Rasulillah saw. wa sunanihi wa ayya>mih, Juz 2, (Al-Matba’ah Al-Salafiyah wa Maktabatuha, Kairo, 1403 H).
Al-Hanbali, Abdurrahman bin Ahmad bin Rajjab >, Syarh} ‘ilal al-Tirmi>zi>, juz 1, (Dar al-Malah li al-taba’ah, tk, 1978).
Al-Jazairy, Abul-Harits Muhammad bin Ibrahim As-Salafy, Syarh} al-manz}u>mah al-baiqu>niyah diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah dengan Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits ; Penjelasan mandhumah al-Baiquniyah, (Maktabah al-Ghuroba, Solo, 2008),
Al-Madiny, Ali bin Abdullah bin Ja’far al-Sa’dy, Al-‘Ilal (al-Maktab al-Islami, Libnan, 1980)
Al-Majid ‘Alwan, Muhammad al-Sayyed Abdu Dirasat al-t}ulla>b ‘ala al-naz}r fi> ‘ilm al-as|ar, (tt,tk, 1995)
Al-Nawawi, S}ah}i>h} Muslim syarh} Yahya bin Syaraf >, juz 4, (Dar al-fikr, Beirut, 1995).
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Al-Qardawi, Yusuf, al-Marja’iyah al-‘ulya fi> al-Islam li al-Qur’an wa al-Sunnah, diterjemahkan oleh Burhanuddin Fannani dalam al-Quran dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam, (Robbani Press, Jakarta, tt)
Al-Syahrazuri >, Abu Amr Usman bin Abdurrahman ‘Ulum al-hadis| li ibn al-S{alah, (Dar al-Fikr, Libnan, 1998)
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abu al-Fadl ‘abdu al-Rahman Tadri>b al-ra>wi fi> syarh{ taqri>b al-nawawi>, (Dar al-Fikr, Libnan, 1993).
Al-Thahhan Mahmud, Taesir mus}t}alah al-hadis,| (Dar al-fikr, Beirut, tt)
Ibn Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Al-‘ilal wa ma’rifah al-rija>l, (Dar al-Khani, Riyadh, 2001)
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar