Entri Populer

Sabtu, 22 Februari 2014

makalah MSI / Eksklusivisme



BAB I
PENDAHULUAN

2.1.Latar Belakang
          Dalam perkembangan zaman yang semakin maju,tak luput juga perkembangan agama yang juga begitu pesat.Begitu juga agama islam yang juga berkembang semakin pesat.Namun,semakin pesatnya perkembangan tersebut juga mengalami tantangan dan gangguan yang juga semakin menjadi dari berbagai pihak,seperti pihak-pihak liberalis yang dengan gencar melancarkan sekularisme yang semakin menyatu dengan globalisasi.Berbagai sebab dan musabab pun banyak yang melatarbelakangi tingkat  perubahan kemajuan dalam islam.baik itu dari internal maupun eksternal.untuk itu dalam makalah ini akan dibahas sikap-sikap yang bisa merusak kemajuan islam di era globalisasi seperti fundamentalisme,sektarianisme dan inklusivisme.
1.2.Rumusan masalah
          Untuk membahas makalah ini diperlukan perumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah Fundamentalisme dalam islam itu?
2.      Apakah sektarianisme itu?
3.      Bagaimana inklusivisme dalam agama?
1.3.Tujuan Pembahasan
          Makalah ini disusun ,selain untuk memenuhi tugas mata kuliah MSI,juga agar dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.Sebab,di era globalisasi ini sekularisme semakin marak dan membuat kita sebagai umat muslim terjebak dalam dikotomis.







BAB II
PEMBAHASAN


2.1.FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Paham fundamentalisme keagamaan adalah paham politik yang dianut suatu negara atau pemerintahan, dimana agama dijadikan sebagai basis ideologi dan dimana agama dipakai sebagai pusat pemerintahannya dan pemimpin tertinggi negara tersebut haruslah seorang petinggi agama.ciri yang diidentikkan dengan fundamentalisme
Secara definitif istilah fundamentalisme tidak ada bedanya antara fundamentalisme dalam agama maupun dalam politik. Di sini fundamentalisme merupakan keimanan yang kuat, tidak goyah, dan bisanya menganut satu kepercayaan yang bersumber dari nash-nash suci.Pemaknaan fundamentalis islam sebagai Salafiyyah ini dalam sejarahnya pernah mengemuka dalam gerakan Salafiyyah yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan ditindaklanjuti oleh ulama-ulama sesudahnya hingga Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qaim. Dalam perkembangan lebih lanjut gerakan puritan ini mengambil pola populis sebagai gerakan reformis modern di tangan Muhammad bin Abdul Wahhab, Asy-Syaukani, gerakan al-Mahdiah (Sudan), as-sanusiah (Maroko), dan lebih lanjut dibidani oleh tokoh-tokoh reformis modern sekaliber Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, rasyid Ridha, Abdurrahman al-Kawakibi, Ibnu Badris, al-Basyir al-Ibrahimi, Abdul Qadir al-Jaza’iri, Tahir bin ‘Asyur, dan lain-lain.
Salah satu contoh bentuk fundamentalisme dalam islam adalah apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok militan islam yaitu Jemaah Al-Jihad. Plat from pemikiran Al-Jihad adalah berlandaskan pada dogma jihad sebagai “kewajiban tersembunyi”. Sedangkan plat from aksinya bertumpu pada tindak memeraangi penguasa dzalim, baik personal atau komunal, dengan cara menghadapi atau assasinasi dengan dalih kekafiran penguasa sebagai orang yang bertanggung jawab pada umat.
Jemaah Al-Jihad mempunyai dua pilar utama yang saling bersinergis : Ideologis yaitu tauhid dan manhaj, metedologinya adalah jihad. Jemaah Al-Jihad ini berlandaskan kepada ide Muhammad Abdussalam. Tujuan mereka adalah mendirikan negara islam serta menerapkan hukum sesuai dengan yang terdapat dalam kitab Allah yaitu al-Quran. Konsep dan doktrin yang mereka gunakan adalah al-hakimiyyah, yang mana konsep ini memberikan konsekuensi kekafiran rezim penguasa yang tidak memerintah dengan aturan kitab Allah, sehingga lebih lanjut memberikan dasar hukum untuk memberontak kepada rezim, membunuh penguasa, merampas aset dan kekayaan negara, menyerang polisi dan tentara. Dengan bahasa sederhana, doktrin al-hakimiyyah dengan sendirinya membatalkan legalitas (tidak mengakui) rezim berkuasa.
Demikianlah dialektika yang dipakai oleh kelompok-kelompok fundamentalis yang mengubah kesadaran agama menjadi kesadaran politik.Jemaah Al-Jihad lebih mantap lagi untuk melangkah dengan pemikiran Hakimiyyah dengan mengadakan pemberontakan pada rezim berkuasa ketika mereka menemukan landasan yang sama dalam sejarah yaitu pada kitab Ibnu Taimiyyah (Al-Fatwa), yang berisi fatwa beliau mengenai pasukan Tartar. Bangsa Tartar memang telah masuk Islam, tapi mereka juga memerangi orang islam. Mereka menangkap ulama islam gara-gara beda pendapat dengan rezim mereka. Lebih dari itu, rezim mereka juga tidak memerintah berlandaskan apa yang telah diturunkan oleh Allah, melainkan memakai hukum baru yang dikenal dengan “Basiq”, yang merupakan penggabungan syariat yudaisme, kristen, paganisme dan islam menyingkapi masalah ini. Ibnu Taimiyyah mengeluarkan fatwa kewajiban memerangi tentara Tartar dan pemimpinnya.
Terdapat perbedaan cara jihad di dalam umat (menghadapi umat islam sendiri) dan jihad di luar umat (penguasa non muslim). Jihad menghadapi orang islam adalah amar ma’ruf nahi munkar, sementara jihad menghadapi bahaya di luar islam adalah perang dan angkat senjata.Dapat dipahami dari deskriptif-deskriptif di atas, bahwa jemaah al-jihad sangat terikat dengan Turas Fikih sebagai nyawa yang menggelora dalam hati mereka, bahkan menjelma menjadi esensi (zat) dan atribut (sifat) sekaligus. Dengan sinergi ini, al-jihad tidak menganggap perlu untuk menganalisis dan mendiagnosa kausa-kausa pada realitas kekinian yang seharusnya dilakukan dalam mengkiyaskan masa kini dengan masa lalu. Sebab tidak semua hukum-hukum konvesional modern bisa dikatakan serampangan sebagai kafir, sebab ia juga mengkomodir konsep maslahah sebagaimana dalam syariat islam. Bahkan jika memiliki sejarah permulaan islam, para fuqaha’ islam kala itu tidak mempermasalahkan sama sekali pengadopsian beberapa perundangan Romawi dan Persia selama tidak bertentangan dengan syariat islam dan mengartikulasikan kemaslahatan orang banyak, terutama perundang-undangan yang mengatur masalah keduniaan, seperti pertanian, irigasi dan tata administrasi.
Dalam tradisi Jemaah al-Jihad dikenal istilah “imarah tanpa musyawarah” dan ‘musyawarah imarah’ sebagai strategi untuk memudahkan pergerakan dan pengambilan keputusan. “Imarah tanpa musyawarah” adalah keputusan yang diambil dengan landasan kepercayaan (siqah) pada pemimpin pengambil keputusan tanpa mekanisme musyawarah dengan anggota, sementara “musyawarah imarah” lebih berdasarkan pada amal jama’i (musyawarah bersama). Kedua sistem ini sama-sama digunakan menurut kondisi masing-masing dengan asumsi pekerjaan tidak tertunda dan telunta-lunta karena perdebatan tanpa ujung, sehingga semua dapat dirampungkan dengan baik tanpa terjebak pada blunder birokrasi organisasi-organisasi kepartaian dan diskusi-diskusi rumit panitia-panitia kecil. Jemaah juga tidak terpaku pada terikat, syekh, atau instruksi-instruksi amir sebagaimana tarekat-tarekat sufi, melainkan semua masalah dikendalikan dan diatur sendiri di dalam melalui musyawarah. Syara’ islam mengikat dan mengatur kedua sistem di atas sebagai faktor obyektif-historis-fundamentalis. Ia sama-sama menjadi rujukan pertama dan terakhir bagi amir (Eksekutif Jemaah), sekaligus jemaah. Dari sinilah mengemuka pentingnya seorang fakih dan kadar keilmuan para fuqaha’. Amir dan Majlis Syura dalam Jemaah, keduanya tidak mengambil dan memutuskan hukum atas dasar hawa nafsu atau demi kepentingan tertentu, melainkan mencari obyektivitas syara’. Dan dari sini pula muncul arti penting ta’wil (penafsiran) dan hukum ta’wil.

2.2.Sektarianisme
            Sektarianisme adalah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik.Konflik sektarian seringkali merujuk pada konflik kekerasan religius dan politik seperti konflik antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara (meskipun kepercayaan politik dan pembagian kelas memainkan peran yang penting pula).Sektarianisme terdapat di seluruh dunia. Dalam agama Islam, konflik antara Sunni dan Syiah merupakan contoh konflik sektarian. Konflik antara Sunni dan Syi’ah muncul di Irak dan Pakistan.
Agama yang semula diharapkan bisa menjadi penyelesaian dari segala problem yang dihadapi oleh manusia, pada gilirannya justru menciptakan problem baru bagi pemeluk-pemeluknya. Sejarah masa lalu umat manusia dipenuhi oleh tulisan tentang pertengkaran, pertikaian dan peperangan atas nama agama. Baik intern pemeluk agama itu sendiri maupun antar pemeluk agama yang berbeda.Bukankah ini adalah hal yang ironi ? Sesungguhnya kesalahan itu terletak pada doktrin agama ataukah pada penafsiran manusia atas doktrin kitab suci ? Pertikaian pertama manusia yang berakhir pada peristiwa pembunuhan Qabil atas Habil -yang secara dramatis dituangkan dalam teks-teks keagamaan- sesungguhnya juga berawal dari suasana yang penuh dengan idiom-idiom keagamaan.Sayangnya generasi manusia sekarang ini adalah generasi yang mewarisi tipologi Qabil tipe Sang Pembunuh, Sang Penyebar Pertengkaran. Dan bukannya tipologi Habil yang penuh kasih sayang, Pemaaf dan Dermawan.Demikianlah lembar pertama dari kitab sejarah manusia di awali dengan peristiwa pertikaian yang imbasnya bisa kita rasakan pada hari ini dan m ungkin pada masa mendatang.
2.3.inklusivisme dalam agama.
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam memandang kebenaran tersebut di antara para penganut agama, seperti halnya  eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu dan tidak di dalam agama lain. Klaim ini tidak memberikan alternatif apapun bagi agama alirannya. Adanya klaim eksklu¬sivisme dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis tentang “keselamatan”, di mana masing-masing agama tersebut meng¬klaim diri sebagai satu-satunya “ruang soteriologis” yang hanya di dalamnya manusia dapat mendapatkan kesela¬matan (salvation) atau kebe¬basan (liberation) atau pencerahan (enlightenment). Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja. Kristen Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam dengan statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.” Maka dari itulah, di masa kemudian muncul yang namanya paham inklusif. Paham tersebut diketahui muncul pertama kali dalam wilayah theologi Kristen dengan latar belakang sebagai penengah antara paham eksklusif dan pluralisme agama. Dalam makalah ini, akan dikupas mengenai paham inklusivisme, termasuk juga konsepnya dalam beberapa agama.
Inklusivisme agama hadir dengan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Lain halnya dengan eksklusifisme agama, orang dengan paradigma tersebut cenderung memiliki kepribadian tertutup, menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lain dan merasa bahwasanya hanya agama dan alirannya saja yang benar, sementara agama dan aliran yang lainnya salah dan dianggap sesat. Sikap seperti ini akan melahirkan sistem soial out group dan in group.
Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar. Pernyataan seperti ini dikenal dengan kategori traditional inklusivisme. Kategori yang kedua adalah relatif inklusivisme yaitu anggapan kebenaran yang hanya terdapat di dalam agama sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada kebenaran yang absolut yang betul-betul benar sehingga semua agama kelihatannya menuju kebenaran absolut.
Memang diakui bahwa eksklusifisme dibutuhkan ketika berbincang tentang teologi, karena memang wilayah paham eksklusifisme berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi teologis suatu agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham seperti ini terkesan lebih kaku dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif menurut saya lebih berada pada wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga nantinya diharapkan lahir tindakan yang lebih konstruktif.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendekatan teologi inklusif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, tapi tidak menyalahkan agama lain dalam artian membiarkan mereka untuk mengakui bahwa agama mereka benar, sehingga tidak memandang yang lain murtad, kafir dan sejenisnya. Dalam keadaan demikian maka timbul proses tidak saling menyalahkan dan  mengkafirkan, timbul adanya dialog dan keterbukaan yang memunculkan adanya saling menghargai antar umat beragama.
Untuk mewujudkan paradigma keberagaman yang inklusif seperti yang dijelaskan di atas, salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan adalah pendekatan teologis-dialogis, yaitu metode pendekatan agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing aliran atau agama. Dalam proses dialog, dibutuhkan keterbukaan antara satu sama lain, agar tumbuh saling pengertian dan pemahaman. W. Montgomery Watt memandang bahwa dialog merupakan upaya saling mengubah pandangan antara penganut agama yang saling terbuka dan belajar satu sama lain. Dia bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama lain, serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologi dari masing-masing agama.
Jadi, pandangan inklusivisme dalam beragama akan menghasilkan dua asumsi yang endukung sebagai bentuk pendekatan hubungan antar agama, yaitu meyakinkan ideologi seseorang terhadap agamanya sendiri, dan yang kedua tidak akan menimbulkan hal-hal yang dikira bisa merusak tatanan sosial dalam beragama karena masing-masing penganut agama saling memberi peluang terhadap agama yang lainnya




















BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
            Didalam upaya mengembangkan agama islam di era yang modern ini,memang membutuhkan upaya yang cukup serius dan akurat.Karena semakin kerasnya tantangan dari kaum liberalis dalam upaya menghancurkan islam.sikap fundamentalis,yakni upaya untuk kembali kepada apa yang di yakini sebagai daar atau asas yang dalam hal ini adalah Islam sebagai keyakinan yang kita anut,memang cukup diperlukan.Hanya saja,jangan sampai sikap fundamentalis sampai berlebihan dan menimbulkan sikap radikalis.
           Bahkan menganggap semua yang dilain ajaran/keyakinan yang di anut adalah kafir.sektarianisme seperti ini haruslah di hilangkan.ikhtilaf memang sering terjadi di kalangan para ulama’. Namun Hal tersebut demi kebaikan semata dan tidak menimbulkan perpecahan.Untuk mengatasi nya kita perlu mengembalikan semuanya paada pokok ajaran islam, yani qur’an dan hadits.serta kita kembangkan sikap toleransi dan saling menghormati baik antara sesama muslim dan non muslim.Sehingga tercipta kedamaian dalam kehidupan sosial masyarakat.
Disisi lain sikap sikap seperti inklusivis memang agak diperlukan,kita menganggap agama kita dalam hal ini islam,adalah yang paling benar.Namun disiis lain jangan sampai menimbulkan sikap intoleran terhadap agama lain dan memusuhinya.dalam  Islam diperbolehkan saling membantu walau itu berbeda keyakinan,namun hanya sebatas hubungan sosial kemasyarakatan saja,tidak sampai pada hubungan yang mencakup dan menyangkut akidah.







DAFTAR PUSTAKA
·         Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, Islamika, Yogyakarta : 2003.
·         Syaikh Idahram, Sejarah Brdarah Sekte salafi wahabi, Pustaka Pesantren, Yogyakarta : 2011.
·         Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi wahabi, Pustaka Pesantren, Yogyakarta : 2011
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm,
·         Daya. H. Burhanuddin, 2004, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta: LkiS, 2004
·         Ghazali. Abd. Moqsith, 2009, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, Depok: KataKita, 2009
·         Khoirul Asfiyak, Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet,
·         http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html,
·         Knitter. Paul F, 2003, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003
·         Madjid. Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
·         Naim. Ngainun, 2011, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Yogyakarta: Teras


Tidak ada komentar:

Posting Komentar