BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
2.1.Latar Belakang
Dalam perkembangan zaman yang semakin
maju,tak luput juga perkembangan agama yang juga begitu pesat.Begitu juga agama
islam yang juga berkembang semakin pesat.Namun,semakin pesatnya perkembangan
tersebut juga mengalami tantangan dan gangguan yang juga semakin menjadi dari
berbagai pihak,seperti pihak-pihak liberalis yang dengan gencar melancarkan
sekularisme yang semakin menyatu dengan globalisasi.Berbagai sebab dan musabab
pun banyak yang melatarbelakangi tingkat
perubahan kemajuan dalam islam.baik itu dari internal maupun
eksternal.untuk itu dalam makalah ini akan dibahas sikap-sikap yang bisa
merusak kemajuan islam di era globalisasi seperti fundamentalisme,sektarianisme
dan inklusivisme.
1.2.Rumusan
masalah
Untuk membahas makalah ini diperlukan
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Fundamentalisme dalam islam
itu?
2. Apakah sektarianisme itu?
3. Bagaimana inklusivisme dalam agama?
1.3.Tujuan
Pembahasan
Makalah ini disusun ,selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah MSI,juga agar dapat bermanfaat bagi penulis sendiri
maupun pembaca.Sebab,di era globalisasi ini sekularisme semakin marak dan
membuat kita sebagai umat muslim terjebak dalam dikotomis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
Fundamentalisme
adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk
kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi).
Paham fundamentalisme keagamaan adalah paham politik yang dianut suatu negara atau
pemerintahan, dimana agama dijadikan sebagai basis ideologi dan dimana agama
dipakai sebagai pusat pemerintahannya dan pemimpin tertinggi negara tersebut haruslah
seorang petinggi agama.ciri yang diidentikkan dengan fundamentalisme
Secara definitif
istilah fundamentalisme tidak ada bedanya antara fundamentalisme dalam agama
maupun dalam politik. Di sini fundamentalisme merupakan keimanan yang kuat,
tidak goyah, dan bisanya menganut satu kepercayaan yang bersumber dari
nash-nash suci.Pemaknaan fundamentalis islam sebagai Salafiyyah ini dalam
sejarahnya pernah mengemuka dalam gerakan Salafiyyah yang didirikan oleh Imam
Ahmad bin Hambal dan ditindaklanjuti oleh ulama-ulama sesudahnya hingga Ibn
Taimiyyah dan Ibn al-Qaim. Dalam perkembangan lebih lanjut gerakan puritan ini
mengambil pola populis sebagai gerakan reformis modern di tangan Muhammad bin
Abdul Wahhab, Asy-Syaukani, gerakan al-Mahdiah (Sudan), as-sanusiah (Maroko),
dan lebih lanjut dibidani oleh tokoh-tokoh reformis modern sekaliber Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, rasyid Ridha, Abdurrahman al-Kawakibi, Ibnu Badris,
al-Basyir al-Ibrahimi, Abdul Qadir al-Jaza’iri, Tahir bin ‘Asyur, dan
lain-lain.
Salah satu contoh
bentuk fundamentalisme dalam islam adalah apa yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok militan islam yaitu Jemaah Al-Jihad. Plat from pemikiran
Al-Jihad adalah berlandaskan pada dogma jihad sebagai “kewajiban tersembunyi”.
Sedangkan plat from aksinya bertumpu pada tindak memeraangi penguasa dzalim,
baik personal atau komunal, dengan cara menghadapi atau assasinasi dengan dalih
kekafiran penguasa sebagai orang yang bertanggung jawab pada umat.
Jemaah Al-Jihad
mempunyai dua pilar utama yang saling bersinergis : Ideologis yaitu tauhid dan
manhaj, metedologinya adalah jihad. Jemaah Al-Jihad ini berlandaskan kepada ide
Muhammad Abdussalam. Tujuan mereka adalah mendirikan negara islam serta
menerapkan hukum sesuai dengan yang terdapat dalam kitab Allah yaitu al-Quran.
Konsep dan doktrin yang mereka gunakan adalah al-hakimiyyah, yang mana konsep ini
memberikan konsekuensi kekafiran rezim penguasa yang tidak memerintah dengan
aturan kitab Allah, sehingga lebih lanjut memberikan dasar hukum untuk
memberontak kepada rezim, membunuh penguasa, merampas aset dan kekayaan negara,
menyerang polisi dan tentara. Dengan bahasa sederhana, doktrin al-hakimiyyah
dengan sendirinya membatalkan legalitas (tidak mengakui) rezim berkuasa.
Demikianlah
dialektika yang dipakai oleh kelompok-kelompok fundamentalis yang mengubah
kesadaran agama menjadi kesadaran politik.Jemaah Al-Jihad lebih mantap lagi
untuk melangkah dengan pemikiran Hakimiyyah dengan mengadakan pemberontakan
pada rezim berkuasa ketika mereka menemukan landasan yang sama dalam sejarah
yaitu pada kitab Ibnu Taimiyyah (Al-Fatwa), yang berisi fatwa beliau mengenai
pasukan Tartar. Bangsa Tartar memang telah masuk Islam, tapi mereka juga
memerangi orang islam. Mereka menangkap ulama islam gara-gara beda pendapat
dengan rezim mereka. Lebih dari itu, rezim mereka juga tidak memerintah
berlandaskan apa yang telah diturunkan oleh Allah, melainkan memakai hukum baru
yang dikenal dengan “Basiq”, yang merupakan penggabungan syariat yudaisme,
kristen, paganisme dan islam menyingkapi masalah ini. Ibnu Taimiyyah
mengeluarkan fatwa kewajiban memerangi tentara Tartar dan pemimpinnya.
Terdapat
perbedaan cara jihad di dalam umat (menghadapi umat islam sendiri) dan jihad di
luar umat (penguasa non muslim). Jihad menghadapi orang islam adalah amar
ma’ruf nahi munkar, sementara jihad menghadapi bahaya di luar islam adalah
perang dan angkat senjata.Dapat dipahami dari deskriptif-deskriptif di atas,
bahwa jemaah al-jihad sangat terikat dengan Turas Fikih sebagai nyawa yang
menggelora dalam hati mereka, bahkan menjelma menjadi esensi (zat) dan atribut
(sifat) sekaligus. Dengan sinergi ini, al-jihad tidak menganggap perlu untuk
menganalisis dan mendiagnosa kausa-kausa pada realitas kekinian yang seharusnya
dilakukan dalam mengkiyaskan masa kini dengan masa lalu. Sebab tidak semua
hukum-hukum konvesional modern bisa dikatakan serampangan sebagai kafir, sebab
ia juga mengkomodir konsep maslahah sebagaimana dalam syariat islam. Bahkan
jika memiliki sejarah permulaan islam, para fuqaha’ islam kala itu tidak
mempermasalahkan sama sekali pengadopsian beberapa perundangan Romawi dan
Persia selama tidak bertentangan dengan syariat islam dan mengartikulasikan
kemaslahatan orang banyak, terutama perundang-undangan yang mengatur masalah
keduniaan, seperti pertanian, irigasi dan tata administrasi.
Dalam tradisi
Jemaah al-Jihad dikenal istilah “imarah tanpa musyawarah” dan ‘musyawarah
imarah’ sebagai strategi untuk memudahkan pergerakan dan pengambilan keputusan.
“Imarah tanpa musyawarah” adalah keputusan yang diambil dengan landasan
kepercayaan (siqah) pada pemimpin pengambil keputusan tanpa mekanisme musyawarah
dengan anggota, sementara “musyawarah imarah” lebih berdasarkan pada amal
jama’i (musyawarah bersama). Kedua sistem ini sama-sama digunakan menurut
kondisi masing-masing dengan asumsi pekerjaan tidak tertunda dan telunta-lunta
karena perdebatan tanpa ujung, sehingga semua dapat dirampungkan dengan baik
tanpa terjebak pada blunder birokrasi organisasi-organisasi kepartaian dan
diskusi-diskusi rumit panitia-panitia kecil. Jemaah juga tidak terpaku pada
terikat, syekh, atau instruksi-instruksi amir sebagaimana tarekat-tarekat sufi,
melainkan semua masalah dikendalikan dan diatur sendiri di dalam melalui
musyawarah. Syara’ islam mengikat dan mengatur kedua sistem di atas sebagai
faktor obyektif-historis-fundamentalis. Ia sama-sama menjadi rujukan pertama
dan terakhir bagi amir (Eksekutif Jemaah), sekaligus jemaah. Dari sinilah
mengemuka pentingnya seorang fakih dan kadar keilmuan para fuqaha’. Amir dan
Majlis Syura dalam Jemaah, keduanya tidak mengambil dan memutuskan hukum atas
dasar hawa nafsu atau demi kepentingan tertentu, melainkan mencari obyektivitas
syara’. Dan dari sini pula muncul arti penting ta’wil (penafsiran) dan hukum
ta’wil.
2.2.Sektarianisme
Sektarianisme adalah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok,
seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik.Konflik sektarian
seringkali merujuk pada konflik kekerasan religius dan politik seperti konflik
antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara (meskipun kepercayaan politik dan pembagian kelas
memainkan peran yang penting pula).Sektarianisme terdapat di seluruh dunia.
Dalam agama Islam, konflik antara Sunni dan Syiah merupakan contoh konflik sektarian. Konflik antara
Sunni dan Syi’ah muncul di Irak dan Pakistan.
Agama yang semula diharapkan bisa menjadi penyelesaian dari segala
problem yang dihadapi oleh manusia, pada gilirannya justru menciptakan problem
baru bagi pemeluk-pemeluknya. Sejarah masa lalu umat manusia dipenuhi oleh
tulisan tentang pertengkaran, pertikaian dan peperangan atas nama agama. Baik
intern pemeluk agama itu sendiri maupun antar pemeluk agama yang berbeda.Bukankah
ini adalah hal yang ironi ? Sesungguhnya kesalahan itu terletak pada doktrin
agama ataukah pada penafsiran manusia atas doktrin kitab suci ? Pertikaian
pertama manusia yang berakhir pada peristiwa pembunuhan Qabil atas Habil -yang
secara dramatis dituangkan dalam teks-teks keagamaan- sesungguhnya juga berawal
dari suasana yang penuh dengan idiom-idiom keagamaan.Sayangnya generasi manusia
sekarang ini adalah generasi yang mewarisi tipologi Qabil tipe Sang Pembunuh,
Sang Penyebar Pertengkaran. Dan bukannya tipologi Habil yang penuh kasih
sayang, Pemaaf dan Dermawan.Demikianlah lembar pertama dari kitab sejarah
manusia di awali dengan peristiwa pertikaian yang imbasnya bisa kita rasakan
pada hari ini dan m ungkin pada masa mendatang.
2.3.inklusivisme dalam agama.
2.3.inklusivisme dalam agama.
Sudah menjadi hal
yang lumrah apabila semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim
kebenaran”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam memandang kebenaran tersebut di
antara para penganut agama, seperti halnya
eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama
tertentu dan tidak di dalam agama lain. Klaim ini tidak memberikan alternatif
apapun bagi agama alirannya. Adanya klaim eksklu¬sivisme dan absolutisme
kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis tentang “keselamatan”, di
mana masing-masing agama tersebut meng¬klaim diri sebagai satu-satunya “ruang
soteriologis” yang hanya di dalamnya manusia dapat mendapatkan kesela¬matan
(salvation) atau kebe¬basan (liberation) atau pencerahan (enlightenment).
Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran,
kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu
bangsa Yahudi saja. Kristen Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no
salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya
dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan
dosa warisan. Islam dengan statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang
artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (ber-Islam)
kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.” Maka dari
itulah, di masa kemudian muncul yang namanya paham inklusif. Paham tersebut
diketahui muncul pertama kali dalam wilayah theologi Kristen dengan latar
belakang sebagai penengah antara paham eksklusif dan pluralisme agama. Dalam
makalah ini, akan dikupas mengenai paham inklusivisme, termasuk juga konsepnya
dalam beberapa agama.
Inklusivisme
agama hadir dengan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Lain
halnya dengan eksklusifisme agama, orang dengan paradigma tersebut cenderung
memiliki kepribadian tertutup, menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lain
dan merasa bahwasanya hanya agama dan alirannya saja yang benar, sementara
agama dan aliran yang lainnya salah dan dianggap sesat. Sikap seperti ini akan
melahirkan sistem soial out group dan in group.
Inklusivisme
sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di
luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui
kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa
kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau
jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga
benar. Pernyataan seperti ini dikenal dengan kategori traditional inklusivisme.
Kategori yang kedua adalah relatif inklusivisme yaitu anggapan kebenaran yang
hanya terdapat di dalam agama sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada
kebenaran yang absolut yang betul-betul benar sehingga semua agama kelihatannya
menuju kebenaran absolut.
Memang diakui
bahwa eksklusifisme dibutuhkan ketika berbincang tentang teologi, karena memang
wilayah paham eksklusifisme berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi
cara pandang masyarakat terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi teologis
suatu agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham seperti ini
terkesan lebih kaku dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif menurut saya
lebih berada pada wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga
nantinya diharapkan lahir tindakan yang lebih konstruktif.
Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa pendekatan teologi inklusif dalam pemahaman keagamaan
adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol yang
masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, tapi tidak
menyalahkan agama lain dalam artian membiarkan mereka untuk mengakui bahwa
agama mereka benar, sehingga tidak memandang yang lain murtad, kafir dan
sejenisnya. Dalam keadaan demikian maka timbul proses tidak saling menyalahkan
dan mengkafirkan, timbul adanya dialog
dan keterbukaan yang memunculkan adanya saling menghargai antar umat beragama.
Untuk mewujudkan
paradigma keberagaman yang inklusif seperti yang dijelaskan di atas, salah satu
pendekatan yang dapat dikembangkan adalah pendekatan teologis-dialogis, yaitu
metode pendekatan agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing
aliran atau agama. Dalam proses dialog, dibutuhkan keterbukaan antara satu sama
lain, agar tumbuh saling pengertian dan pemahaman. W. Montgomery Watt memandang
bahwa dialog merupakan upaya saling mengubah pandangan antara penganut agama
yang saling terbuka dan belajar satu sama lain. Dia bermaksud menghilangkan
sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama lain, serta menghilangkan
ajaran yang bersifat apologi dari masing-masing agama.
Jadi, pandangan
inklusivisme dalam beragama akan menghasilkan dua asumsi yang endukung sebagai
bentuk pendekatan hubungan antar agama, yaitu meyakinkan ideologi seseorang
terhadap agamanya sendiri, dan yang kedua tidak akan menimbulkan hal-hal yang
dikira bisa merusak tatanan sosial dalam beragama karena masing-masing penganut
agama saling memberi peluang terhadap agama yang lainnya
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Didalam
upaya mengembangkan agama islam di era yang modern ini,memang membutuhkan upaya
yang cukup serius dan akurat.Karena semakin kerasnya tantangan dari kaum
liberalis dalam upaya menghancurkan islam.sikap fundamentalis,yakni upaya untuk
kembali kepada apa yang di yakini sebagai daar atau asas yang dalam hal ini
adalah Islam sebagai keyakinan yang kita anut,memang cukup diperlukan.Hanya
saja,jangan sampai sikap fundamentalis sampai berlebihan dan menimbulkan sikap
radikalis.
Bahkan menganggap semua yang dilain
ajaran/keyakinan yang di anut adalah kafir.sektarianisme seperti ini haruslah
di hilangkan.ikhtilaf memang sering terjadi di kalangan para ulama’. Namun Hal
tersebut demi kebaikan semata dan tidak menimbulkan perpecahan.Untuk mengatasi
nya kita perlu mengembalikan semuanya paada pokok ajaran islam, yani qur’an dan
hadits.serta kita kembangkan sikap toleransi dan saling menghormati baik antara
sesama muslim dan non muslim.Sehingga tercipta kedamaian dalam kehidupan sosial
masyarakat.
Disisi lain
sikap sikap seperti inklusivis memang agak diperlukan,kita menganggap agama
kita dalam hal ini islam,adalah yang paling benar.Namun disiis lain jangan
sampai menimbulkan sikap intoleran terhadap agama lain dan
memusuhinya.dalam Islam diperbolehkan
saling membantu walau itu berbeda keyakinan,namun hanya sebatas hubungan sosial
kemasyarakatan saja,tidak sampai pada hubungan yang mencakup dan menyangkut
akidah.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hassan Hanafi,
Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, Islamika, Yogyakarta : 2003.
·
Syaikh
Idahram, Sejarah Brdarah Sekte salafi wahabi, Pustaka Pesantren, Yogyakarta :
2011.
·
Syaikh
Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi wahabi, Pustaka Pesantren, Yogyakarta :
2011
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm,
·
Daya. H. Burhanuddin,
2004, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan
Antaragama, Yogyakarta: LkiS, 2004
·
Ghazali. Abd. Moqsith,
2009, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, Depok:
KataKita, 2009
·
Khoirul Asfiyak,
Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet,
·
http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html,
·
Knitter. Paul F, 2003,
Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global,
diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003
·
Madjid. Nurcholis,
1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
·
Naim. Ngainun, 2011,
Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Yogyakarta: Teras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar