BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Islam adalah agama yang paling benar menurut Allah.Pada surat Ali Imron:19 “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam.”Agama Islam berpedoman pada kitab suci yang tak pernah berubah dari keasliannya.Selain itu perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi akhiruz zaman Nabi Muhammad SAW.Dua dasar hukum itulah yang digunakan umat islam sebagai pedoman hidup.
Islam adalah agama yang paling benar menurut Allah.Pada surat Ali Imron:19 “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam.”Agama Islam berpedoman pada kitab suci yang tak pernah berubah dari keasliannya.Selain itu perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi akhiruz zaman Nabi Muhammad SAW.Dua dasar hukum itulah yang digunakan umat islam sebagai pedoman hidup.
Dahulu pada waktu Nabi Muhammad masih hidup,
semua persoalan – persoalan hidup kala itu dapat terjawab dengan lengkap.Akan
tetapi, setelah Nabi wafat terjadi pergulatan yang heboh tentang pengganti
beliau. Pada waktu itu, kaum Anshor menunjuk Sa’ad bin Ubadah. Tetapi, kaum
Muhajirin menolak dengan berdalih bahwa kaum Muhajirin lebih dahulu masuk islam
dan kaum Muhajirin juga telah menyertai rasulullah selama 13 tahun. Mereka
mempertahankan Islam dari gangguan dan ancaman kaum kafir Quraisy. Maka
terpilihlah Sayyidina Abu Bakar sebagai Kholifah.
Namun dimasa pemerintahan Kholifah tak berjalan dengan
mulus, karena sang sumber hukum (Rasulullah) telah wafat. Puncaknya di masa
jabatan Kholifah Ali bin abi tholib.Disitulah mulai muncul aliran–aliran yang
menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.Penyebabnya adalah peristiwa
Tahkim ialah penyerahan kekuasaan Ali sebagai kholifah.Kubu yang membenarkan
keputusan Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syiah.Kelompok yang
menyalahkan bahkan mengkafirkan Ali adalah Khowarij.Sedangkan kelompok yang
tidak memihak siapapun yaitu aliran Murji’ah.Di zaman modern ini juga, terdapat sekte – sekte yang beragam.
MerekaAda aliran yang radikal, aliran sufisme dan aliran yang melenceng dari
islam. Tetapi mereka semua mengaku bersimbolkan islam.
Walaupun terjadi banyak perbedaan pandangan akan
ideologi antar golongan, kita sebagai muslim yang baik, seyogyanya menyikapi
dengan bijak. Jangan terlalu membangga – banggakan suatu golongan. Karena belum
tentu golongan itu adalah golongan yang terbaik.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan di atas dapat kita ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Adakah kesenjangan dalam Islam antara normatif dan historis?
2. Apa sebab perpecahan yang terjadi antar golongan dalam Islam?
3. Apa upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan keberagaman Islam yang santun?
1.2.RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan di atas dapat kita ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Adakah kesenjangan dalam Islam antara normatif dan historis?
2. Apa sebab perpecahan yang terjadi antar golongan dalam Islam?
3. Apa upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan keberagaman Islam yang santun?
1.3.Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun
selain untuk memenuhi tugas mata filsafat MSI juga agar pembaca dapat mengambil
ibrah dari makalah ini.Yang membahas tentang perpecahan serta perbedaan di
kalangan ummat islam.Sehingga dari pembahasan dalam makalah ini,kita dapat
mengambil makna serta manfaat agar kita sebagai ummat islam tidak lagi terpecah
belah dengan kembali pada jalur yang benar,yakni dengan qur’an dan sunnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Kesenjangan dalam Islam antara normatif dan historis
Agama islam memiliki peraturan – peraturan/ norma yang tidak boleh
dilanggar bagi tiap pengikutnya. Dengan menjadikan Alquran sebagai sumber hukum
utama, dan Alhadits sebaga isumber hukum ke dua.Tetapi, mengenai mengenai
metode penafsiran dari tiap – tiap golongan berbeda – beda. Metode penafsiran
itu terbagi menjadi dua. Pertama, Tafsir bil ma’tsur yaitu Alquran ditafsirkan
dengan sesama ayat Alquran, Hadits nabi dan perkataan para sahabat. Kedua,
Tafsir bi ar Ra’yi yakni Alquran ditafsirkan menggunakan akal pikiran (ijtihad)
sendiri. Inilah yang menyebabkan dari tiap - tiap golongan dalam islam beragam.
Selain itu, penafsiran oleh para ahli tafsir berangkat dari keadaan dalam
masyarakat. Ada yang bermula dari menjelaskan makna – makna yang objektif
kemudian berpindah pada realitas dalam masyarakat. Ada juga yang berangkat dari
realitas umat menuju pemahaman sesuai ajaran – ajaran mungkin dapat diperoleh
dalam penafsiran Alquran.
Inilah penyebab Islam terbagi menjadi beberapa sekte.Nilai – nilai yang terkandung di dalam Alquran dan Hadits ditafsirkan dengan menggunakan metode dan keadaan yang berlainan.Telah saya sebutkan di atas bahwa perpecahan antar umat islam itu terjadi setelah Rasulullah wafat. Kelompok – kelompok itu awal mulanya hanya terbagi menjadi 4 kelompok yaitu Muhajirin, Anshor, Umayyah dan cikal bakal Syi’ah.
Inilah penyebab Islam terbagi menjadi beberapa sekte.Nilai – nilai yang terkandung di dalam Alquran dan Hadits ditafsirkan dengan menggunakan metode dan keadaan yang berlainan.Telah saya sebutkan di atas bahwa perpecahan antar umat islam itu terjadi setelah Rasulullah wafat. Kelompok – kelompok itu awal mulanya hanya terbagi menjadi 4 kelompok yaitu Muhajirin, Anshor, Umayyah dan cikal bakal Syi’ah.
Dalam sejarah, Khalifah Abu bakar (632-634M) berhasil menundukkan suku
badui yang murtad yang tidak mau membayar zakat. Mereka beranggapan bahwa islam
itu ada karena Rasulullah. Jadi, kalau Rasulullah telah tiada maka, islam telah
mati. Di masa Khalifah Umar bin Khattab (634-644M), beliau mampu memperluas
islam dengan mampu menundukkan Byzantium (wilayahSyiria, Palestina, Mesir) juga
dapat menggulingkan Persia. Periode pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan
(644-656M) terjadi pergolakan dalam masyarakat arab. Pasalnya, beliau
mengangkat keluargaanya menjadi pejabat –pejabat yang penting di masa
pemerintannya. Banyak dari keluarganya yang dijadikan gubernur. Salah satunya
Umayah bin Abi Sufyan.
Pada pemerintahan Khalifah
Utsman tampak sekali keluarga bani umayah yang menguasainya. Akibatnya rakyat
yang tidak puas atas kepemimpinannya kemudian membunuhnya dalam kerusuhan
tanggal 17 Juni 656M. Sebagai pengganti khalifah Utsman, Khalifah Ali bin Abi
Thalib dituntut keluarga bani Umayyah untuk membongkar pembunuhan Utsman.
Karena tidak ditanggapi, puncaknya pada perang Shiffin yang dikomandani
Muawiyah bin abi sufyan terjadi pertarungan yang dahsyat tetapi peperangan itu
berakhir dengan peristiwa Tahkim. Yakni Ali meletakkan jabatan sebagai
Khalifah. Atas dasar ini, muncullah ideologi – ideologi yang diakibatkan oleh
masalah politik belaka.
Sebagai warga muslim yang baik, kita sebaiknya menyikapi perbedaan ini
dengan bijak. Antara normatif ( Syariat islam) dan Historis ada saling
keterkaitan. Karena sejarah bisa menggambarkan secara umum tentang syariat
islam mulai dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang.Inilah perlunya islam
integratif maksudnya islam yang memadukan antara normatif dan historis
2. 2.Sebab perpecahan yang terjadi antar golongan
Islam
Dari
Muawiyah berkata Rasulullah SAW bersabda: “ Telah pecah umat yahudi menjadi 71
golongan dan telah pecah umat nasroni menjadi 72 golongan dan umatku akan pecah
menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk neraka dan hanya satu yang masuk
surga. Lalu para sahabat bertanya: Siapakah yang selamat itu ya Rasulullah?
Nabi menjawab: Apa yang aku kerjakan hari ini dan para sahabatku.” ( H.R. Ibnu
Majah ).
Hadits ini sangat jelas bahwa umat islam akan
terpecah belah menjadi 73 golongan. Tetapi di dalam hadits ada kata – kata yang
rancu yakni “Apa yang aku kerjakan hari ini dan para sahabatku” kata yang aku
kerjakan hari ini menjadi polemik yang heboh. Karena pada hari dimana
rasulullah hidup adalah masa yang dijadikan sumber hukum. Tapi bagaimana kita
menyikapi permasalahan yang tidak terdapat di masa rasulullah?. Inilah
timbulnya golongan – golongan itu.Banyak yang menyatakan golongannya beraliran
“ ahlussunnah waljama’ah” tapi dalam praktiknya nol besar.
Kebanyakan dari golongan itu tidak sesuai yang
telah diajarkan Rasulullah. Contohya adalah aliran Mu’tazilah yang berkata
orang yang memiliki dosa dan pahala sama, maka besok ditempatkan diantara surga
dan neraka. Mereka juga berpendapat Allah wajib memberi pahala dan dosa bagi
hambanya. Lain lagi Murji’ah mereka berstatement bahwa tidak apa – apa
melakukan maksiat asal masih punya iman kepada Allah dan juga berpendapat
bahewa manusia tidak mempunyai kuasa apapun dalam bertindak. Golongan Qodariyah
berpendapat manusia itu mempunyai kekuasaan mengatur hidupnya.Itu salah satu
contoh aliran yang melenceng di masa tabi’in.
Saling mengkafirkan dan
menyesatkan antar umat yang sama-sama mebaca ‘kalimat tauhid’, ber-Tuhan satu,
ber-Nabi satu, ber-agama satu dan ‘kitab suci’ yang satu merupakan salah satu
faktor utama perpecahan. Sekte wahabiyah mengkafirkan shufiyah (para shufi) di satu pihak, sementara
di pihak lain justru kelompok shufiyah yang
mengkafirkan balik wahabiyah. ‘Ahli Sunnah’ pun tak luput dari tuduhan kafir
dan sesat. Bahkan bukan hanya oleh wahabiyah semata, tapi juga oleh Syi’ah.
Ketika Syi’ah mengkafirkan ‘Ahli Sunnah’, di satu sisi syi’ah juga dikafirkan
oleh wahabiyah. Yang menyedihkan, pengkafiran–agaknya–menjadi kebanggaan. Ini
terlihat dari antusiasme mereka ketika mengkafirkan kelompok lain.
Jika pengkafiran ini terus terjadi, kemudian ditinjau
dari berbagai lini, maka sesungguhnya di dunia ini sudah tidak ada orang islam
lagi. Ketika Ahli Sunnah dikatakan kafir, Syi’ah dikatakan kafir, wahabiyah
dikatakan kafir, Shufiyah dikatakan kafir, lalu siapa yang islam?
Ketika suatu kelompok
mengkafirkan kelompok tertentu, maka ia telah mengeluarkan kelompok itu dari
islam dan menjadi musuhnya. Maka, ketika ada kelompok yang mendaku cinta dan
penolong islam namun gemar dan mudah mengkafirkan kelompok lain yang masih
membaca kalimat tauhid, maka dia telah berbohong dan berdusta. Tanpa disadari
sebenarnya dia sedang membunuh islam secara perlahan. Karena dengan
mengkafirkan saudara sendiri berarti dia sedang memecah belah islam.
Radikalisme, ekstremisme dan
terorisme yang kerap kali terjadi juga tak terlepas dari keyakinan pelaku atas
kekafiran kelompok lain. Beruntung mayoritas bangsa Indonesia adalah ‘Ahli
Sunnah Wal Jama’ah’ yang tidak gampang mengkafirkan sekte lain. Bahkan, walau
pun mereka dikafir-kafirkan oleh kelompok tertentu karena ziarah kubur, tawasul
dan lain sebagainya, mereka tidak membalasnya dengang balik mengkafirkan. Tidak
habis fikir apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika mayoritas dihuni umat
yang gemar mengkafirkan.
Di
zaman modern seperti ini, juga ada aliran yang sesat dari ajaran islam. Salah
satunya JIL ( Jaringan Islam Liberal ) dengan pimpinan Ulil Absor Abdala. Dia
pernah berkata “ Yang ada adalah hukum tuhan……….Dengan demikian semua hukum
benar…….”. apakah orang – orang JIL yang katanya beragama islam tidak pernah
membaca ayat alquran?. Pada Q.S Almaidah: 50 “ Apakah hukum jahiliyyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang – orang yang yakin”. Juga pada Q.S. Alkafirun: 6 “ Untukmu agamaku
dan untukku agamaku”.Apakah ajaran yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang
diungkapkan JIL.Yang jelas – jelas bertentangn dengan ayat alquran.Perpecahan
yang terjadi dalam islam disebabkan oleh penafsiran tentang ayat alquran dan
alhadits yang berbeda – beda.Selain itu mereka jarang mengetahui asbabun nuzul
dan asbabul wurudnya mereka memaknai agama sesuai pikiranyya sendiri.
Disatu sisi,
internet memberi banyak manfaat umat berupa mudahnya mengakses kabar seputar
dunia dan berbagai macam ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain internet juga
membawa bencana, karena praktik-praktik takfiriyyah begitu
mudahnya ditemukan di internet. Bahkan, jika boleh saya katakan, internet saat
ini cukup dikuasai oleh para pengasong pengkafiran dan penyesatan terhadap
kelompok lain. Belum lama sahabat serumah hendak mencari informasi instan
tentang ‘Barzanji’ melalui internet, tapi yang ironis, dia
justru langsung disodori tuduhan sesat terhadap ‘barzanji’ tersebut. Ketika saya sedang malas
membuka kitab, kadang saya membuka internet, namun hati ini menjadi miris
ketika hampir setiap situs yang saya ‘klik’ berisi tuduhan sesat dan bid’ah
terhadap kelompok lain.Pengkafiran yang diasong murah meriah melalui internet
pun semakin memperdalam jurang perpecahan umat.
2.3. Upaya mencari cara alternatif yang tepat
Sebelumya, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu agar
pembahasan tetap berjalan diatas kejelasan, juga, supaya tak terjadi kesalah
pahaman terkait terminologi ‘mempersatukan’. Lantas, mempersatukan semacam
apakah yang dimaksudkan?. Simpel, bahwa mempesatukan di sini maksundya
mempersatukan umat dari keterpecahan dengan tetap menghargai perbedaan pendapat
di antar madzhab. Karena, bagaimana pun, kita tidak akan luput dari yang
namanya perbedaan pendapat, terlebih dalam masalah furû’ (cabang).
Bahkan—menurut hemat saya—perbedaan kadang menjadi keniscayaan untuk kita
lakukan. Semisal; ulama yang ber-ijtihjad di Indonesia tentu harus merumuskan
hukum yang berbeda dengan rumusan hukum ulama yang ber-ijtihad di Arab
Saudi.
Tentu ketika situasi-kondisinya juga berbeda. Sebagaimana ketika Imam
Syafi’i merumuskan hukum di Bahgdad berbeda dengan hukum yang beliau rumuskan
di Mesir, yang kemudian di kenal denga qaul qadîm (untuk yang
di Bahgdad) dan qaul jadîd (untuk yang di Mesir). Saya
tekankan, bahwa yang saya maksud adalah mempersatukan umat, bukan madzhab. Toh—mungkin–mempersatukanmadzhab
merupakan salah satu cara untuk mempersatukan umat.
Terkait mempersatukan madzhab, Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya, Fitnah
at-Takfîr mengklarifikasi perbedaan antara kalimat“taqrîb
al-Madzahib (mendekatkan antar madzhab)”, “tauhîd al-madzâhib (menggabungkan
antar madzhab) dan ihtidhân (merangkul)”. Beliau
mendefinisikan taqrîb al-madzâhib dengan, “Koeksistensi
antar madzhab-madzhab yang berbeda beserta menyingkap kerangka umum–yang bisa
menjadi titik temu–dan aspek-aspek yang disepakati bersama serta
mengidentifikasi aspek-aspek diferensiasi”. Jadi,taqrîb itu, tetap
mengakui adanya diferensiasi antar madzhab, bahkan memelihara perbedaan
tersebut. Namun dengan catatan tidak fanatik buta terhadap salah satunya
sehingga intoleransi terhadap yang lainya.
Taqrîb ini nampak bertolak dari ide bahwa dalam
setiap madzhab terdapat titik temu dengan madzhab lain. Pada titik temu itulah
setiap madzhab yang berbeda bisa bersatu padu dan maju bersama. Memang dalam
stiap madzhab juga terdapat perbedaan, namun, alangkah indahnya jika perbedaan
itu dihormati dan persamaan dijunjung tinggi. Sampai kapanpun, perbedaan akan
selalu ada, jika tidak saling menghormati, maka permusuhan pun akan selalu ada.
Kemudian “tauhîdul madzahib” beliau definisikanya dengan;
“menggabungkan semua madzhab dalam satu madzhab dan mengesampingkan kaidah
keragaman dan perbedaan antar mazhab”.Sedang posisi ihtidhan adalah
diantara taqrîb dan tauhîd.Bisa dikatakan, ihtidhân adalah
lebih dari sekedar mendekatkan antar madzhab namun tidak sampai pada taraf men-tauhîd-kanya.
Karena itu, solusi yang sekira tepat diadopsi untuk menyatukan umat adalah
metode taqrîb atau ihtidhan, bukan tauhîd.
Madzhab juga bisa dimaksudkan sebagai madzhab fikih ataupun madzhab dalam
ilmu kalam (teologi). Namun perpecahan yang ada cenderung disebabkan perbedaan
dalam ilmu kalam daripada fikih. Di era kontemporer ini tidak semua madzhab
yang dulu pernah ada dapat kita jumpai. Bahkan, banyak diantara madzhab yang
telah tiada. Sebab itu, upaya mempersatukan (baca-taqrîb) lebih
difokuskan kepada madzhab-madzhab yang masih tersisa, diantaranya; Ahlus Sunnah
Wal Jam’ah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah yang sekarang masih
eksis di Omam, Tripoli, Tunisia dan Al-Jazair. Ibadhiyah ini sebenarya sisa
dari sekte Khawarij tapi marah jika dipanggil Khawarij. Oke, biar lebih
terurut, mungkin upaya mempersatukan umat bisa kita klasifikasikan kedalam
poin-poin berikut.
a. Yang pertama dan bersifat personal tentu belajar dan memperbanyak
membaca buku. Terutama sejarah tentang perpecahan beserta pertikaian antar
madzhab itu sendiri. Tentu bertolak dari rasa cinta kepada islam dan
persatuanya. Ketika dia menemukan dalam sejarah betapa tragisnya perpecahan dan
pertikaian berdarah antar madzhab maka—pada tataran terendah—ia akan merasa
miris dan iba kepada islam. Sehingga, pada tataran berikutnya akan terbesit
dalam hati kecilnya, “bagaimana caranaya agar sesama umat islam tidak saling
serang bahkan bersatu padu dan saling membantu?”. Lalu, dia akan bereusaha
melacak akar perpecahan tersebut yang pada puncaknya ia menemukan bahwa di
antara faktor perpecahan tersebut adalah fanatisme buta dan saling mengkafirkan
antar madzhab. Pengetahuan tentang sejarah pertikaian berdarah lebih mujarab
untuk membongkar fanatisme buta daripada sekedar ajakan “mari bersatu padu”.
b. Hentikan saling mengkafirkan. Ketika di atas dikatakan bahwa saling
mengkafirkan adalah sebab dari perpecahan itu, maka logis jika solusinya adalah
menghilangkan sebabnya yang berupa saling mengkafirkan. Al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad
fî al-I’tiqad mengatakan,“tidak bergegas atau tergesa untuk
mengkafirkan kecuali orang-orang bodoh…Sesungguhnya menghalalkan darah dan
harta orang-orang yang menjalankan solat dan dengan jelas masih membaca
“lâ Ilaha illa Allah Muhammad rasulullah” adalah kesalahan”. Secara
eksplisit al-Ghazali mengatakan bahwa mengkafirkan seseorang yang masih membaca
kalimat tauhid adalah kesalahan.
Statemen al-Ghazali diatas Nampak jelas berpijak pada hadist yang
mengkisahkan Usamah bin Zaid yang menikam seorang laki-laki padahal laki-laki
tersebut telah membaca kalimat tauhid. Kemudian ada semacam kearaguan yang
menyelimuti hatinya apakah yang ia (Usamah) lakukan adalah benar. Lalu Usamah
menuturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Tentang peristiwa itu. Lalu Nabi berkata
dengan nada semacam kekecewaan atas apa yang telah Usamah lakukan;
“Apakah dia telah membaca lâ Ilaha illallah, dan kamu membunuhnya?!. Lalu
Usamah berkata “Wahai Rasulullah, dia mengucapkanya hanya karena takut pedang”.
lalu Rasul Saw. berkata “Mengapa kamu tidak membelah hatinya sekalian sehingga
kamu mengetahui apakah hatinya juga membacanaya ataukah tidak?!!” Rasul Saw.
Mengulang-ulang perkataanya itu sehingga Usamah pun berharap (waktu itu) segera
selamat dari luapan semacam kekecewaan Rasul Saw.” (HR. Muslim)
Lantas, mungkinkah, dan upaya apa saja untuk memutus mata rantai saling
mengkafirkan tersebut?. Saya jawab mungkin!. Muhammad Imarah, seorang pemikir
Muslim Mesir, menawarkan beberapa langkah konkrit untuk memutus mata rantai
saling mengkafirkan. Yang diantaranya adalah; perlunya menhimpun para
ahli hukum dari berbagai pihak terkait, khususnya dari Ahli sunnah Wal jamaah,
Syi’ah Imammiyah, Syi’ah zaidiyah, Wahabiyah dan Shufiyah untuk mendialogkan
problematika saling mengkafirkan tersebut. Dan pertemuan dilakukan dalam
keadaan tertutup dari masyarakat umum dan media masa. Pertemuan ini setidaknya
untuk menyepakati beberapa hal penting terkait budaya saling mengkafirkan:
- Sepekat mengeluarkan fatwa kolektif antara pihak-pihak terkait untuk mengharamkan tuduhan-tuduhan kafir kepada madzhab manapun yang pengikutnya masih membaca ‘kalimat tauhid’.
- Mengharamkan mengekspos ataupun mempublikasikan tuduhan-tuduhan kafir tesebut ke dalam internet dan media masa lainya. Ini terkait karena penyebaran fitnah saling mengkafirkan ini sangat gencar dilakukan melalui internet. Namun—menurut saya—tidaklah cukup dengan hanya mengeluarkan fatwa haramnya menuduh kafir dalam media, bahkan harus ada langkah kongkrit bagaimana supaya fitnah pengkafiran dalam media ini benar-benar terhentikan. Tentu sumbangsih dari pengelolaan media menjadi keniscayaan. Semisal, ketika konten yang berbau porno grafi saja dilarang dan bisa diblokir, mengapa konten yang berpontensi menimbulkan perpecahan ini tidak dilarang dan diblokir juga?
- Membersihkan kitab-kitab turast (kuno/kitab kuning) dari segala bentuk hukum-hukum yang mengkafirkan terhadab orang-orang yang masih membaca ‘kalimat tauhid’. Langkah ini sangat penting, karena segala upaya apa saja yang telah diusahakan–seperti mengeluarkan fatwa kolektif diatas—akan berakhir sia-sia tanpa langkah ketiga ini. Tentu kontribusi dari pihak terkait, khususnya penerbit, percetakan dan para donatur sangat berperan.
Lalu, mungkinkah membersihkan kitab-kitab turats dari hukum-hukum saling
mengkafirkan tersebut? “iya, mungkin!” jawab Dr. Muhammad Imarah. Kemudian
beliau menunjukan bukti-bukti konkrit atas kemungkinan tersebut bahwa segala
upaya yang telah beliau lakukan bersama-sama tokoh lainya telah mampu
mempengaruhi, baik bagi ulama Syi’ah maupun lainya.
c. Taqrîb al-Madhâhib atau
bahkan ihtidhân (maksud dari kedua istilah ini telah
dijelaskan diatas). Menurut Dr. Mushthafa Sak’ah, (seorang pemikir Muslim
kontemporer yang cukup terkemuka) ketika kita mau berfikir mendalam dan
membuang jauh-jauh pemikiran membeku kita, maka kita tidak akan menemukan
perbedaan terlalu signifikan diantara setiap madzhab, termasuk antara Sunni
dengan Syi’ah, ataupun Sunni dengan Ibadhi. Sehingga, upaya untuk mendekatkan
(baca-taqrîb) di antara masdzhab tersebut tidak akan mengalami kendala
cukup signifikan. Imam Abu Hanifa yang Sunni adalah murid Imam Zaid bin Ali
yang mana Syi’ah Zaidiayah dinisbahkan kepadanya. Abu hanifah belajar fikih dan
ushulnya kepada beliau.
Sementara, Imam Zaid bin Ali sendiri adalah murid petinggi Muktazilah,
Washil bin Atha’ yang sedikit banyak telah mempengaruhinya. Sehingga wajar jika
ditemukan dalam Syi’ah Zaidiyah pemikiran yang bernafaskan Muktazilah. Imam
Malik bin Anas adalah murid dari Imam Ja’far ash-Shadiq seorang pemimpin Syi’ah
Imamiyah atau ja’fariyah. Bahkan dikatakan, Imam Bukhari, seorang ulama
hadits Ahli Sunnah pernah duduk dihadapan Iamam Imrân bin Khaththan yang Khawarij
untuk bertalaki hadits kepadanya dan membukukanya. Kemudian Washil bin Atha’
dan Amru bin Ubai (kedua pemimpin Muktazilah) adalah murid dari Hasan
al-Bashri.
Sebab itu, sebenarnaya di antara madzhab-madzhab tersebut memiliki hubungan
cukup dekat. Perbedaan cukup mendasar, khususnya antara Sunni dan Syi’ah, lebih
dalam masalah ‘imâmah’ yang kebetulan pada era kontemporer ini telah tidak
berlaku lagi kecuali—mungkin—dalam ruang yang sangat sempit. Kemudian,
perbedaan tentang nikah mut’ah hanyalah perbedaan dalam masalah fikih yang bisa
didialogkan. Terlebih Ibadhiayah—yang sebenarnya sisa Khawarij—sangat marah
ketika disebut Khawarij dan tidak pernah melaknat Sayidina Ali. Sehinngga,
sebenarnya tak ada perbedaan signifikan antara Ibadhiyah dan Syi’ah kecuali
dalam masalah Imamah. Disatu sisi, Ibadhiyah ini dalam masalah Imamah lebih
cenderung sepakat dengan Ahli Sunnah. Karena itu, menurut Mushthafa Sak’ah,
sebenarnya tidak terlalu sulit unutk menyatukan mereka. Asalakah dilakukan
dengan niat dan cara yang benar.
Mungkin, Upaya taqrîb al-madzahib paling menonjol,
khususnya antar madzhab fikih, adalah yang pernah diserukan oleh Imam Muhammad
Abduh (1849-1905) yang tujuanya untuk menghindarkan umat dari fanatisme buta
terhadap madzhab tertentu. Kemudian, pada tahun empat puluan di abad ke-20 juga
telah berdiri lembaga “Jama’ah al-taqrîb Bainal Madhâhib” yang
lebih mengfokuskan untuk mendekatkan ahli sunnah dan syi’ah imamiyah. Dipimpin
oleh Syaikh Muhammad Ali Alubah Basya (1875-1956). Yang mana di dalamnya terdapat
ulama-ulama cukup terkemuka semisal; Syikh Abdul Majid Salim, Syikh Muhammad
Mushthafa al-Maraghi, Syaikh Mushthafa Abdur Raziq, Syaikh Mahmud Syaltût,
Syaikh Ali al-Khafif, Syaik Abdul Azîz Isa, Syaikh Hasan al-Bana, Syaikh Sayyid
Sabiq dan ulama Ahli Sunnah lainya. Sebagaimana juga di-ikuti oleh para
pembesar ulama Syi’ah seperti; Sayyid Muhammad Taqiyuddin al-Qimiy, Sayid
Muhammad al-Husaini, Sayid Syarafuddin al-Musawiy, Syaid Muhammad Jawâd dal
ualam Syi’ah lainya.
Rasulullah bersabda: “ Perbedaan antara umatku
adalah rahmat.” Telah kita ketahui bahwa islam terbagi menjadi beberapa
sekte.Sebenarnya diantara mereka memiliki kesamaan – kesamaan diantaranya:
1)
Mempunyai tuhan yang satu yaitu Allah SWT
2) Mempunyai kitab yang satu yaitu kitab suci Alquran
3) Mempunyai kiblat yang satu yaitu ka’bah
2) Mempunyai kitab yang satu yaitu kitab suci Alquran
3) Mempunyai kiblat yang satu yaitu ka’bah
Mereka itu sebenarnya bagai satu kesatuan.
Seyogyanya tidak perlu menganggap bahwa golongannya paling benar karena tidak akan habis –
habisnya bila kita membahas itu. Diperlukan sikap toleran antar golongan.Dengan
adanya saling maenghargai antar golongan dalam umat islam, akan menjadikan
Islam di mata dunia sebagai agama yang santun.
BAB
III
PENUTUTP
3.1.Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita
ambil kesimpulan,dimana ummat islam itu terpecah belah karena adanya perbedaan
– perbedaan cara pandang berfikir didalam menafsirkan qur’an dan
hadits,sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pengetian.Selain itu upaya
pengkafiran dari berbagai golongan menjadikan perpecahan ini semakin
menjadi.Namun sebenarnya walaupun adanya perbedaan di antara ummat
islam,seharusnya hal ini tak membuat mereka terpecah belah.Sebab mereka jug
amemiliki kesamaan yakni sama2 beragama islam,bertuhan Allah,dan berkiblat pada
ka’bah.Sehingga seharusnya dikalangan ummat islam itu sendiri mereka harus
mengembangkan sikap toleran di dalam menilai semua perbedaan yang ada.Sehingga
tidak akan ada perpecahan walaupun banyak perbedaan.Semoga kita termasuk
orang-orang yang selalu dalam lindungan Allah swt,amiin.
Daftar Pustaka
·
Ahmala Arifin,M.Ag.2011.Tafsir Pembebasan.Lingkar media: Yogyakarta
·
Anam Sutopo dkk.2001.Pengantar Islam Komprehensif.Fajar Pustaka Baru
·
H. Nur Hamim,Lc.Pg.D.2010.Sejarah kebudayaan islam untuk MA.
Am-Inshofi: Solo
·
K.H. Muhammad Sya’roni Ahmadi.Faroidlussaniyyah
·
Parjono Wiro Putro.Membongkar Kesesatan Pemikiran JIL. Bina Insani
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar