Entri Populer

Sabtu, 22 Februari 2014

makalah MSI perpecahan dalam umat islam



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
              Islam adalah agama yang paling benar menurut Allah.Pada surat Ali Imron:19 “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam.”Agama Islam berpedoman pada kitab suci yang tak pernah berubah dari keasliannya.Selain itu perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi akhiruz zaman Nabi Muhammad SAW.Dua dasar hukum itulah yang digunakan umat islam sebagai pedoman hidup.
              Dahulu pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, semua persoalan – persoalan hidup kala itu dapat terjawab dengan lengkap.Akan tetapi, setelah Nabi wafat terjadi pergulatan yang heboh tentang pengganti beliau. Pada waktu itu, kaum Anshor menunjuk Sa’ad bin Ubadah. Tetapi, kaum Muhajirin menolak dengan berdalih bahwa kaum Muhajirin lebih dahulu masuk islam dan kaum Muhajirin juga telah menyertai rasulullah selama 13 tahun. Mereka mempertahankan Islam dari gangguan dan ancaman kaum kafir Quraisy. Maka terpilihlah Sayyidina Abu Bakar sebagai Kholifah.
              Namun dimasa pemerintahan Kholifah tak berjalan dengan mulus, karena sang sumber hukum (Rasulullah) telah wafat. Puncaknya di masa jabatan Kholifah Ali bin abi tholib.Disitulah mulai muncul aliran–aliran yang menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.Penyebabnya adalah peristiwa Tahkim ialah penyerahan kekuasaan Ali sebagai kholifah.Kubu yang membenarkan keputusan Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syiah.Kelompok yang menyalahkan bahkan mengkafirkan Ali adalah Khowarij.Sedangkan kelompok yang tidak memihak siapapun yaitu aliran Murji’ah.Di zaman modern ini juga, terdapat sekte – sekte yang beragam. MerekaAda aliran yang radikal, aliran sufisme dan aliran yang melenceng dari islam. Tetapi mereka semua mengaku bersimbolkan islam.
              Walaupun terjadi banyak perbedaan pandangan akan ideologi antar golongan, kita sebagai muslim yang baik, seyogyanya menyikapi dengan bijak. Jangan terlalu membangga – banggakan suatu golongan. Karena belum tentu golongan itu adalah golongan yang terbaik.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan di atas dapat kita ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Adakah kesenjangan dalam Islam antara normatif dan historis?
2. Apa sebab perpecahan yang terjadi antar golongan dalam Islam?
3. Apa upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan keberagaman Islam yang santun?

1.3.Tujuan Pembahasan
              Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata filsafat MSI juga agar pembaca dapat mengambil ibrah dari makalah ini.Yang membahas tentang perpecahan serta perbedaan di kalangan ummat islam.Sehingga dari pembahasan dalam makalah ini,kita dapat mengambil makna serta manfaat agar kita sebagai ummat islam tidak lagi terpecah belah dengan kembali pada jalur yang benar,yakni dengan qur’an dan sunnah.




























BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kesenjangan dalam Islam antara normatif dan historis
              Agama islam memiliki peraturan – peraturan/ norma yang tidak boleh dilanggar bagi tiap pengikutnya. Dengan menjadikan Alquran sebagai sumber hukum utama, dan Alhadits sebaga isumber hukum ke dua.Tetapi, mengenai mengenai metode penafsiran dari tiap – tiap golongan berbeda – beda. Metode penafsiran itu terbagi menjadi dua. Pertama, Tafsir bil ma’tsur yaitu Alquran ditafsirkan dengan sesama ayat Alquran, Hadits nabi dan perkataan para sahabat. Kedua, Tafsir bi ar Ra’yi yakni Alquran ditafsirkan menggunakan akal pikiran (ijtihad) sendiri. Inilah yang menyebabkan dari tiap - tiap golongan dalam islam beragam.
              Selain itu, penafsiran oleh para ahli tafsir berangkat dari keadaan dalam masyarakat. Ada yang bermula dari menjelaskan makna – makna yang objektif kemudian berpindah pada realitas dalam masyarakat. Ada juga yang berangkat dari realitas umat menuju pemahaman sesuai ajaran – ajaran mungkin dapat diperoleh dalam penafsiran Alquran.
Inilah penyebab Islam terbagi menjadi beberapa sekte.Nilai – nilai yang terkandung di dalam Alquran dan Hadits ditafsirkan dengan menggunakan metode dan keadaan yang berlainan.Telah saya sebutkan di atas bahwa perpecahan antar umat islam itu terjadi setelah Rasulullah wafat. Kelompok – kelompok itu awal mulanya hanya terbagi menjadi 4 kelompok yaitu Muhajirin, Anshor, Umayyah dan cikal bakal Syi’ah.
              Dalam sejarah, Khalifah Abu bakar (632-634M) berhasil menundukkan suku badui yang murtad yang tidak mau membayar zakat. Mereka beranggapan bahwa islam itu ada karena Rasulullah. Jadi, kalau Rasulullah telah tiada maka, islam telah mati. Di masa Khalifah Umar bin Khattab (634-644M), beliau mampu memperluas islam dengan mampu menundukkan Byzantium (wilayahSyiria, Palestina, Mesir) juga dapat menggulingkan Persia. Periode pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (644-656M) terjadi pergolakan dalam masyarakat arab. Pasalnya, beliau mengangkat keluargaanya menjadi pejabat –pejabat yang penting di masa pemerintannya. Banyak dari keluarganya yang dijadikan gubernur. Salah satunya Umayah bin Abi Sufyan.
               Pada pemerintahan Khalifah Utsman tampak sekali keluarga bani umayah yang menguasainya. Akibatnya rakyat yang tidak puas atas kepemimpinannya kemudian membunuhnya dalam kerusuhan tanggal 17 Juni 656M. Sebagai pengganti khalifah Utsman, Khalifah Ali bin Abi Thalib dituntut keluarga bani Umayyah untuk membongkar pembunuhan Utsman. Karena tidak ditanggapi, puncaknya pada perang Shiffin yang dikomandani Muawiyah bin abi sufyan terjadi pertarungan yang dahsyat tetapi peperangan itu berakhir dengan peristiwa Tahkim. Yakni Ali meletakkan jabatan sebagai Khalifah. Atas dasar ini, muncullah ideologi – ideologi yang diakibatkan oleh masalah politik belaka.
              Sebagai warga muslim yang baik, kita sebaiknya menyikapi perbedaan ini dengan bijak. Antara normatif ( Syariat islam) dan Historis ada saling keterkaitan. Karena sejarah bisa menggambarkan secara umum tentang syariat islam mulai dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang.Inilah perlunya islam integratif maksudnya islam yang memadukan antara normatif dan historis
2. 2.Sebab perpecahan yang terjadi antar golongan Islam
              Dari Muawiyah berkata Rasulullah SAW bersabda: “ Telah pecah umat yahudi menjadi 71 golongan dan telah pecah umat nasroni menjadi 72 golongan dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga. Lalu para sahabat bertanya: Siapakah yang selamat itu ya Rasulullah? Nabi menjawab: Apa yang aku kerjakan hari ini dan para sahabatku.” ( H.R. Ibnu Majah ).
              Hadits ini sangat jelas bahwa umat islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Tetapi di dalam hadits ada kata – kata yang rancu yakni “Apa yang aku kerjakan hari ini dan para sahabatku” kata yang aku kerjakan hari ini menjadi polemik yang heboh. Karena pada hari dimana rasulullah hidup adalah masa yang dijadikan sumber hukum. Tapi bagaimana kita menyikapi permasalahan yang tidak terdapat di masa rasulullah?. Inilah timbulnya golongan – golongan itu.Banyak yang menyatakan golongannya beraliran “ ahlussunnah waljama’ah” tapi dalam praktiknya nol besar.
              Kebanyakan dari golongan itu tidak sesuai yang telah diajarkan Rasulullah. Contohya adalah aliran Mu’tazilah yang berkata orang yang memiliki dosa dan pahala sama, maka besok ditempatkan diantara surga dan neraka. Mereka juga berpendapat Allah wajib memberi pahala dan dosa bagi hambanya. Lain lagi Murji’ah mereka berstatement bahwa tidak apa – apa melakukan maksiat asal masih punya iman kepada Allah dan juga berpendapat bahewa manusia tidak mempunyai kuasa apapun dalam bertindak. Golongan Qodariyah berpendapat manusia itu mempunyai kekuasaan mengatur hidupnya.Itu salah satu contoh aliran yang melenceng di masa tabi’in.
Saling mengkafirkan dan menyesatkan antar umat yang sama-sama mebaca ‘kalimat tauhid’, ber-Tuhan satu, ber-Nabi satu, ber-agama satu dan ‘kitab suci’ yang satu merupakan salah satu faktor utama perpecahan. Sekte wahabiyah mengkafirkan shufiyah (para shufi) di satu pihak, sementara di pihak lain justru kelompok shufiyah yang mengkafirkan balik wahabiyah. ‘Ahli Sunnah’ pun tak luput dari tuduhan kafir dan sesat. Bahkan bukan hanya oleh wahabiyah semata, tapi juga oleh Syi’ah. Ketika Syi’ah mengkafirkan ‘Ahli Sunnah’, di satu sisi syi’ah juga dikafirkan oleh wahabiyah. Yang menyedihkan, pengkafiran–agaknya–menjadi kebanggaan. Ini terlihat dari antusiasme mereka ketika mengkafirkan kelompok lain.
Jika pengkafiran ini terus terjadi, kemudian ditinjau dari berbagai lini, maka sesungguhnya di dunia ini sudah tidak ada orang islam lagi. Ketika Ahli Sunnah dikatakan kafir, Syi’ah dikatakan kafir, wahabiyah dikatakan kafir, Shufiyah dikatakan kafir, lalu siapa yang islam?
Ketika suatu kelompok mengkafirkan kelompok tertentu, maka ia telah mengeluarkan kelompok itu dari islam dan menjadi musuhnya. Maka, ketika ada kelompok yang mendaku cinta dan penolong islam namun gemar dan mudah mengkafirkan kelompok lain yang masih membaca kalimat tauhid, maka dia telah berbohong dan berdusta. Tanpa disadari sebenarnya dia sedang membunuh islam secara perlahan. Karena dengan mengkafirkan saudara sendiri berarti dia sedang memecah belah islam.
Radikalisme, ekstremisme dan terorisme yang kerap kali terjadi juga tak terlepas dari keyakinan pelaku atas kekafiran kelompok lain. Beruntung mayoritas bangsa Indonesia adalah ‘Ahli Sunnah Wal Jama’ah’ yang tidak gampang mengkafirkan sekte lain. Bahkan, walau pun mereka dikafir-kafirkan oleh kelompok tertentu karena ziarah kubur, tawasul dan lain sebagainya, mereka tidak membalasnya dengang balik mengkafirkan. Tidak habis fikir apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika mayoritas dihuni umat yang gemar mengkafirkan.
            Di zaman modern seperti ini, juga ada aliran yang sesat dari ajaran islam. Salah satunya JIL ( Jaringan Islam Liberal ) dengan pimpinan Ulil Absor Abdala. Dia pernah berkata “ Yang ada adalah hukum tuhan……….Dengan demikian semua hukum benar…….”. apakah orang – orang JIL yang katanya beragama islam tidak pernah membaca ayat alquran?. Pada Q.S Almaidah: 50 “ Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang – orang yang yakin”. Juga pada Q.S. Alkafirun: 6 “ Untukmu agamaku dan untukku agamaku”.Apakah ajaran yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang diungkapkan JIL.Yang jelas – jelas bertentangn dengan ayat alquran.Perpecahan yang terjadi dalam islam disebabkan oleh penafsiran tentang ayat alquran dan alhadits yang berbeda – beda.Selain itu mereka jarang mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurudnya mereka memaknai agama sesuai pikiranyya sendiri.
Disatu sisi, internet memberi banyak manfaat umat berupa mudahnya mengakses kabar seputar dunia dan berbagai macam ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain internet juga membawa bencana, karena praktik-praktik takfiriyyah begitu mudahnya ditemukan di internet. Bahkan, jika boleh saya katakan, internet saat ini cukup dikuasai oleh para pengasong pengkafiran dan penyesatan terhadap kelompok lain. Belum lama sahabat serumah hendak mencari informasi instan tentang ‘Barzanji’ melalui internet, tapi yang ironis, dia justru langsung disodori tuduhan sesat terhadap ‘barzanji’ tersebut. Ketika saya sedang malas membuka kitab, kadang saya membuka internet, namun hati ini menjadi miris ketika hampir setiap situs yang saya ‘klik’ berisi tuduhan sesat dan bid’ah terhadap kelompok lain.Pengkafiran yang diasong murah meriah melalui internet pun semakin memperdalam jurang perpecahan umat.
2.3. Upaya mencari cara alternatif yang tepat
Sebelumya, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu agar pembahasan tetap berjalan diatas kejelasan, juga, supaya tak terjadi kesalah pahaman terkait terminologi ‘mempersatukan’. Lantas, mempersatukan semacam apakah yang dimaksudkan?. Simpel, bahwa mempesatukan di sini maksundya mempersatukan umat dari keterpecahan dengan tetap menghargai perbedaan pendapat di antar madzhab. Karena, bagaimana pun, kita tidak akan luput dari yang namanya perbedaan pendapat, terlebih dalam masalah furû’ (cabang). Bahkan—menurut hemat saya—perbedaan kadang menjadi keniscayaan untuk kita lakukan. Semisal; ulama yang ber-ijtihjad di Indonesia tentu harus merumuskan hukum yang berbeda dengan  rumusan hukum ulama yang ber-ijtihad di Arab Saudi.
Tentu ketika situasi-kondisinya juga berbeda. Sebagaimana ketika Imam Syafi’i merumuskan hukum di Bahgdad berbeda dengan hukum yang beliau rumuskan di Mesir, yang kemudian di kenal denga qaul qadîm (untuk yang di Bahgdad) dan qaul jadîd (untuk yang di Mesir).  Saya tekankan, bahwa yang saya maksud adalah mempersatukan umat, bukan madzhab. Toh—mungkin–mempersatukanmadzhab merupakan salah satu cara untuk mempersatukan umat.
Terkait mempersatukan madzhab, Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya, Fitnah at-Takfîr  mengklarifikasi perbedaan antara kalimat“taqrîb al-Madzahib (mendekatkan antar madzhab)”, “tauhîd al-madzâhib (menggabungkan antar madzhab) dan ihtidhân (merangkul)”. Beliau mendefinisikan  taqrîb al-madzâhib dengan, “Koeksistensi antar madzhab-madzhab yang berbeda beserta menyingkap kerangka umum–yang bisa menjadi titik temu–dan aspek-aspek yang disepakati bersama serta mengidentifikasi aspek-aspek diferensiasi”. Jadi,taqrîb itu, tetap mengakui adanya diferensiasi antar madzhab, bahkan memelihara perbedaan tersebut. Namun dengan catatan tidak fanatik buta terhadap salah satunya sehingga intoleransi terhadap yang lainya.
Taqrîb ini nampak bertolak  dari ide bahwa dalam setiap madzhab terdapat titik temu dengan madzhab lain. Pada titik temu itulah setiap madzhab yang berbeda bisa bersatu padu dan maju bersama. Memang dalam stiap madzhab juga terdapat perbedaan, namun, alangkah indahnya jika perbedaan itu dihormati dan persamaan dijunjung tinggi. Sampai kapanpun, perbedaan akan selalu ada, jika tidak saling menghormati, maka permusuhan pun akan selalu ada. Kemudian “tauhîdul madzahib” beliau definisikanya dengan; “menggabungkan semua madzhab dalam satu madzhab dan mengesampingkan kaidah keragaman dan perbedaan antar mazhab”.Sedang posisi  ihtidhan  adalah diantara taqrîb dan tauhîd.Bisa dikatakan, ihtidhân adalah lebih dari sekedar mendekatkan antar madzhab namun tidak sampai pada taraf men-tauhîd-kanya. Karena itu, solusi yang sekira tepat diadopsi untuk menyatukan umat adalah metode taqrîb atau ihtidhan, bukan tauhîd.
Madzhab juga bisa dimaksudkan sebagai madzhab fikih ataupun madzhab dalam ilmu kalam (teologi). Namun perpecahan yang ada cenderung disebabkan perbedaan dalam ilmu kalam daripada fikih. Di era kontemporer ini tidak semua madzhab yang dulu pernah ada dapat kita jumpai. Bahkan, banyak diantara madzhab yang telah tiada. Sebab itu, upaya mempersatukan (baca-taqrîb) lebih difokuskan kepada madzhab-madzhab yang masih tersisa, diantaranya; Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah yang sekarang masih eksis di Omam, Tripoli, Tunisia dan Al-Jazair. Ibadhiyah ini sebenarya sisa dari sekte Khawarij tapi marah jika dipanggil Khawarij. Oke, biar lebih terurut, mungkin upaya mempersatukan umat bisa kita klasifikasikan kedalam poin-poin berikut.
a. Yang pertama dan bersifat personal tentu belajar dan memperbanyak membaca buku. Terutama sejarah tentang perpecahan beserta pertikaian antar madzhab itu sendiri. Tentu bertolak dari rasa cinta kepada islam dan persatuanya. Ketika dia menemukan dalam sejarah betapa tragisnya perpecahan dan pertikaian berdarah antar madzhab maka—pada tataran terendah—ia akan merasa miris dan iba kepada islam. Sehingga, pada tataran berikutnya akan terbesit dalam hati kecilnya, “bagaimana caranaya agar sesama umat islam tidak saling serang bahkan bersatu padu dan saling membantu?”. Lalu, dia akan bereusaha melacak akar perpecahan tersebut yang pada puncaknya ia menemukan bahwa di antara faktor perpecahan tersebut adalah fanatisme buta dan saling mengkafirkan antar madzhab. Pengetahuan tentang sejarah pertikaian berdarah lebih mujarab untuk membongkar fanatisme buta daripada sekedar ajakan “mari bersatu padu”.
b. Hentikan saling mengkafirkan. Ketika di atas dikatakan bahwa saling mengkafirkan adalah sebab dari perpecahan itu, maka logis jika solusinya adalah menghilangkan sebabnya yang berupa saling mengkafirkan. Al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fî al-I’tiqad mengatakan,“tidak bergegas atau tergesa untuk mengkafirkan kecuali orang-orang bodoh…Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta orang-orang yang menjalankan solat dan  dengan jelas masih membaca “lâ Ilaha illa Allah Muhammad rasulullah” adalah kesalahan”. Secara eksplisit al-Ghazali mengatakan bahwa mengkafirkan seseorang yang masih membaca kalimat tauhid adalah kesalahan.
Statemen al-Ghazali diatas Nampak jelas berpijak pada hadist yang mengkisahkan Usamah bin Zaid yang menikam seorang laki-laki padahal laki-laki tersebut telah membaca kalimat tauhid. Kemudian ada semacam kearaguan yang menyelimuti hatinya apakah yang ia (Usamah) lakukan adalah benar. Lalu Usamah menuturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Tentang peristiwa itu. Lalu Nabi berkata dengan nada semacam kekecewaan atas apa yang  telah Usamah lakukan; “Apakah dia telah membaca lâ Ilaha illallah, dan kamu membunuhnya?!. Lalu Usamah berkata “Wahai Rasulullah, dia mengucapkanya hanya karena takut pedang”. lalu Rasul Saw. berkata “Mengapa kamu tidak membelah hatinya sekalian sehingga kamu mengetahui apakah hatinya juga membacanaya ataukah tidak?!!” Rasul Saw. Mengulang-ulang perkataanya itu sehingga Usamah pun berharap (waktu itu) segera selamat dari luapan semacam kekecewaan Rasul Saw.” (HR. Muslim)
Lantas, mungkinkah, dan upaya apa saja untuk memutus mata rantai saling mengkafirkan tersebut?. Saya jawab mungkin!. Muhammad Imarah, seorang pemikir Muslim Mesir, menawarkan beberapa langkah konkrit untuk memutus mata rantai saling mengkafirkan. Yang diantaranya adalah; perlunya menhimpun  para ahli hukum dari berbagai pihak terkait, khususnya dari Ahli sunnah Wal jamaah, Syi’ah Imammiyah, Syi’ah zaidiyah, Wahabiyah dan Shufiyah untuk mendialogkan problematika saling mengkafirkan tersebut. Dan pertemuan dilakukan dalam keadaan tertutup dari masyarakat umum dan media masa. Pertemuan ini setidaknya untuk menyepakati beberapa hal penting terkait budaya saling mengkafirkan:
  1. Sepekat mengeluarkan fatwa kolektif antara pihak-pihak terkait untuk mengharamkan tuduhan-tuduhan kafir kepada madzhab manapun yang pengikutnya masih membaca ‘kalimat tauhid’.
  2.  Mengharamkan mengekspos ataupun mempublikasikan tuduhan-tuduhan kafir tesebut ke dalam internet dan media masa lainya. Ini terkait karena penyebaran fitnah saling mengkafirkan ini sangat gencar dilakukan melalui internet. Namun—menurut saya—tidaklah cukup dengan hanya mengeluarkan fatwa haramnya menuduh kafir dalam media, bahkan harus ada langkah kongkrit bagaimana supaya fitnah pengkafiran dalam media ini benar-benar terhentikan. Tentu sumbangsih dari pengelolaan media menjadi keniscayaan. Semisal, ketika konten yang berbau porno grafi saja dilarang dan bisa diblokir, mengapa konten yang berpontensi menimbulkan perpecahan ini tidak dilarang dan diblokir juga?
  3.  Membersihkan kitab-kitab turast (kuno/kitab kuning) dari segala bentuk hukum-hukum yang mengkafirkan terhadab orang-orang yang masih membaca ‘kalimat tauhid’. Langkah ini sangat penting, karena segala upaya apa saja yang telah diusahakan–seperti mengeluarkan fatwa kolektif diatas—akan berakhir sia-sia tanpa langkah ketiga ini. Tentu kontribusi dari pihak terkait, khususnya penerbit, percetakan dan para donatur sangat berperan.
Lalu, mungkinkah membersihkan kitab-kitab turats dari hukum-hukum saling mengkafirkan tersebut? “iya, mungkin!” jawab Dr. Muhammad Imarah. Kemudian beliau menunjukan bukti-bukti konkrit atas kemungkinan tersebut bahwa segala upaya yang telah beliau lakukan bersama-sama tokoh lainya telah mampu mempengaruhi, baik bagi ulama Syi’ah maupun lainya.
c. Taqrîb al-Madhâhib atau bahkan ihtidhân (maksud dari kedua istilah ini telah dijelaskan diatas). Menurut Dr. Mushthafa Sak’ah, (seorang pemikir Muslim kontemporer yang cukup terkemuka) ketika kita mau berfikir mendalam dan membuang jauh-jauh pemikiran membeku kita, maka kita tidak akan menemukan perbedaan terlalu signifikan diantara setiap madzhab, termasuk antara Sunni dengan Syi’ah, ataupun Sunni dengan Ibadhi. Sehingga, upaya untuk mendekatkan (baca-taqrîb) di antara masdzhab tersebut tidak akan mengalami kendala cukup signifikan. Imam Abu Hanifa yang Sunni adalah murid Imam Zaid bin Ali yang mana Syi’ah Zaidiayah dinisbahkan kepadanya. Abu hanifah belajar fikih dan ushulnya kepada beliau.
Sementara, Imam Zaid bin Ali sendiri adalah murid petinggi Muktazilah, Washil bin Atha’ yang sedikit banyak telah mempengaruhinya. Sehingga wajar jika ditemukan dalam Syi’ah Zaidiyah pemikiran yang bernafaskan Muktazilah. Imam Malik bin Anas adalah murid dari Imam Ja’far ash-Shadiq seorang pemimpin Syi’ah Imamiyah atau ja’fariyah. Bahkan dikatakan,  Imam Bukhari, seorang ulama hadits Ahli Sunnah pernah duduk dihadapan Iamam Imrân bin Khaththan yang Khawarij untuk bertalaki hadits kepadanya dan membukukanya. Kemudian Washil bin Atha’ dan Amru bin Ubai (kedua pemimpin Muktazilah) adalah murid dari Hasan al-Bashri.
Sebab itu, sebenarnaya di antara madzhab-madzhab tersebut memiliki hubungan cukup dekat. Perbedaan cukup mendasar, khususnya antara Sunni dan Syi’ah, lebih dalam masalah ‘imâmah’ yang kebetulan pada era kontemporer ini telah tidak berlaku lagi kecuali—mungkin—dalam ruang yang sangat sempit. Kemudian, perbedaan tentang nikah mut’ah hanyalah perbedaan dalam masalah fikih yang bisa didialogkan. Terlebih Ibadhiayah—yang sebenarnya sisa Khawarij—sangat marah ketika disebut Khawarij dan tidak pernah melaknat Sayidina Ali. Sehinngga, sebenarnya tak ada perbedaan signifikan antara Ibadhiyah dan Syi’ah kecuali dalam masalah Imamah. Disatu sisi, Ibadhiyah ini dalam masalah Imamah lebih cenderung sepakat dengan Ahli Sunnah. Karena itu, menurut Mushthafa Sak’ah, sebenarnya tidak terlalu sulit unutk menyatukan mereka. Asalakah dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Mungkin, Upaya taqrîb al-madzahib paling menonjol, khususnya antar madzhab fikih, adalah yang pernah diserukan oleh Imam Muhammad Abduh (1849-1905) yang tujuanya untuk menghindarkan umat dari fanatisme buta terhadap madzhab tertentu. Kemudian, pada tahun empat puluan di abad ke-20 juga telah berdiri lembaga “Jama’ah al-taqrîb Bainal Madhâhib” yang lebih mengfokuskan untuk mendekatkan ahli sunnah dan syi’ah imamiyah. Dipimpin oleh Syaikh Muhammad Ali Alubah Basya (1875-1956). Yang mana di dalamnya terdapat ulama-ulama cukup terkemuka semisal; Syikh Abdul Majid Salim, Syikh Muhammad Mushthafa al-Maraghi, Syaikh Mushthafa Abdur Raziq, Syaikh Mahmud Syaltût, Syaikh Ali al-Khafif, Syaik Abdul Azîz Isa, Syaikh Hasan al-Bana, Syaikh Sayyid Sabiq dan ulama Ahli Sunnah lainya. Sebagaimana juga di-ikuti oleh para pembesar ulama Syi’ah seperti; Sayyid Muhammad Taqiyuddin al-Qimiy, Sayid Muhammad al-Husaini, Sayid Syarafuddin al-Musawiy, Syaid Muhammad Jawâd dal ualam Syi’ah lainya.
Rasulullah bersabda: “ Perbedaan antara umatku adalah rahmat.” Telah kita ketahui bahwa islam terbagi menjadi beberapa sekte.Sebenarnya diantara mereka memiliki kesamaan – kesamaan diantaranya:
1) Mempunyai tuhan yang satu yaitu Allah SWT
2) Mempunyai kitab yang satu yaitu kitab suci Alquran
3) Mempunyai kiblat yang satu yaitu ka’bah
              Mereka itu sebenarnya bagai satu kesatuan. Seyogyanya tidak perlu menganggap bahwa golongannya paling benar karena tidak akan habis – habisnya bila kita membahas itu. Diperlukan sikap toleran antar golongan.Dengan adanya saling maenghargai antar golongan dalam umat islam, akan menjadikan Islam di mata dunia sebagai agama yang santun.
             







BAB III
PENUTUTP
3.1.Kesimpulan
            Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan,dimana ummat islam itu terpecah belah karena adanya perbedaan – perbedaan cara pandang berfikir didalam menafsirkan qur’an dan hadits,sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pengetian.Selain itu upaya pengkafiran dari berbagai golongan menjadikan perpecahan ini semakin menjadi.Namun sebenarnya walaupun adanya perbedaan di antara ummat islam,seharusnya hal ini tak membuat mereka terpecah belah.Sebab mereka jug amemiliki kesamaan yakni sama2 beragama islam,bertuhan Allah,dan berkiblat pada ka’bah.Sehingga seharusnya dikalangan ummat islam itu sendiri mereka harus mengembangkan sikap toleran di dalam menilai semua perbedaan yang ada.Sehingga tidak akan ada perpecahan walaupun banyak perbedaan.Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu dalam lindungan Allah swt,amiin.












Daftar Pustaka
·       Ahmala Arifin,M.Ag.2011.Tafsir Pembebasan.Lingkar media: Yogyakarta
·       Anam Sutopo dkk.2001.Pengantar Islam Komprehensif.Fajar Pustaka Baru
·       H. Nur Hamim,Lc.Pg.D.2010.Sejarah kebudayaan islam untuk MA. Am-Inshofi: Solo
·       K.H. Muhammad Sya’roni Ahmadi.Faroidlussaniyyah
·       Parjono Wiro Putro.Membongkar Kesesatan Pemikiran JIL. Bina Insani Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar