EPISTEMOLOGI
1.Latar Belakang
Masalah epistemologi
bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan
sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui
batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang
pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap
mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan
batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak
dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal
sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi
epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori
tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran.
Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat,
kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya
disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian
aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang
dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui
mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi)
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini
saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi
ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin
membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan
ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang
didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa
dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi,
dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam
suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng
dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang
berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita
renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan
cara-cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak
diperoleh pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada,
cara-cara juga adam tetapi tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan
dari sesuatu yang dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya
adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling
bergantung).
Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi
disini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau
langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan
perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi
adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding
ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk
diseputar epistemologi, mulai dari pengertian, ruang lingkup, objek,
tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi
B. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah epistemologi
digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat,
epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi
ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi
ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang
yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda,
buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam
upaya memahami pengertian
suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa
diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan
memperkenalkan pengertian
(definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung
dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas
pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan
persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami
substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia
baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar,
prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan
belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep
merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang
dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian
pula, pengertian epistemologi
diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga
memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi
itu. Ada beberapa pengertian
epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan
untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi
berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya)
pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang
dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu
dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan
pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman)
(Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah
sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap
manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun
S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu
sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip
kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi
menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian
dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar
dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman
dari kedua pengertian
tersebut hampir sama. Sedangkan
hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian
kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat
pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang
hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian
yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua
aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas
daripada kedua pengertian
tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan
validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi
sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi
kedua pengertian ini
sedikit perbedaan dari kedua pengertian
tersebut, tetapi kedua pengertian
ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
C. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.
Bertolak dari pengertian-pengertian epistemologi tersebut, kiranya
kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau ruang lingkupnya.
Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi pemahaman tentang ruang
lingkup epistemologi sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya
didasarkan pada rincian aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemologi
daripada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada
baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang
lingkup epistemologi, sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu
pemahaman secara makin komprehensif dan utuh (holistik) mengenai ruang lingkup
pemabahasan epistemologi.
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi,
meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci
menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi
mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat
menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Jadi meskipun epistemologi itu merupakan
sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas sekali. Jika kita memaduakan
rincian aspek-aspek epistemologi, sebagaimana diuraikan tersebut, maka
teori pengetahuan itu bisa meliputi, hakikat, keaslian, sumber, struktur,
metode, validias, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian,
kodrat, pertanggungjawaban dan skope pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi Gazalba,
taklid kepada pengetahuan atas kewibaan orang yang memberikannya termasuk epistemologi,
sekalipun ia sebenarnya merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan.
Jelasnya, seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi
cakupan epistemologi.
Mengingat epistemologi mencakup aspek
yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi
sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan
selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang
tertentu. Filsafat merupakan refleksi, dan refleksi selalu bersifat kritis,
maka tidak mungkin seserorang memiliki suatu metafisika yang tidak sekaligus
merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi yang tidak
sekaligus epistemologi dari psikologi, atau bahkan suatu sains yang
bukan epistemologi dari sains. Epistemologi senantiasa
“mengawali” dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi itu dicoba
untuk digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi
selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi, melainkan bisa juga sebaliknya,
ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya, seperti psikologi selalu diiringi
oleh epistemologi.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi,
ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para
filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi
hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan
aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Semestinya
harus ada pergeseran pusat perhatian pembahasan ke arah aspek-aspek yang
terabaikan itu, agar dapat menyajikan pembahasan terhadap aspek-aspek epistemologi
seluruhnya secara proporsional. Lebih dari itu, perubahan kecenderungan
pembahasan tersebut dapat memperkenalkan pengetahuan yang makin luas dan
mendalam tentang cakupan epistemologi.
Kenyataannya,
saat ini literatur-literatur filsafat masih terjadi pemusatan perhatian pada
aspek-aspek tertentu saja. Aspek-aspek itu berkisar pada sumber pengetahuan,
dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi
lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu
pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi
banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara
itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi,
atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan
sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi
itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi
sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung
menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode
pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil
pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak
positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah
satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya
jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas.
Namun,
penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman
seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat,
khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan
menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi
makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi
dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait
langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
D. OBJEK DAN
TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan,
sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek
tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran,
sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi objek dan
tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat diperoleh,
jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi bertujuan
membunuh perampok yang melakukan perlawanan, ketika akan ditangkap dengan
menambak kepalanya sebagai sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan,
sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu, pembunuhan sebagai tujuan
polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok
sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya melalui menembak
kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam satu tujuan
bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.
Sebaliknya,
mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak.
Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia misalnya,
sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan
bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi,
antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik
tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini,
justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di
kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya
bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda.
Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan
bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.
Aktivitas
berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang
berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang
berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda)
lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan
implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global,
baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap
saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.
Dalam filsafat
terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada,
yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat
manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat
(sarwa-yang-ada).
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi
atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek
tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa
“segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran
teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan,
sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam
mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain
mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab
pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi
bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari,
akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan.
Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas
dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal
untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan
sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi
pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang
yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi
seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru
dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 =
6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa
yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana
prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan
menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa
benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka
lainnya.
Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan”
inilah yang menjadi pembuka terhadap pengetahuan, pemahaman dan
pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa diibaratkan seperti kunci gudang,
meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam gudang terdapat bermacam-macam
barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata, karena tidak pernah membuktikan.
Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan segera dibuka, kemudian diperiksa
satu persatu barang-barang yang ada didalamnya. Dengan demikina, seseorang
tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar
tahu berdasarkan pembuktian melalui proses itu.
Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi
mengetahui dan memahami pemikiran seseorang secara komprehensif dan utuh,
termasuk juga ide, gagasa, konsep dan teorinya, sebab tidak ada pemikiran yang
terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan yang mendasarinya. Dalam
kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan pemikiran
seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses terjadinya pemikiran itu.
Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun motif-motif yang
mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum dikenali, maka acapkali
seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang lain. Sebaliknya, jika
seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor, alasan dan motif tersebut,
maka dia akan mampu mengenali pemikiran orang lain dengan baik, sehingga dia
dapat memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu maupun komponen yang lain
sesungguhnya termasuk dalam mata rantai proses sebuah pemikiran.
E. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi memiliki arti yang
sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak.
Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan
pengetahuan bagaikan bangunan rumah, sedangkan landasan bagaikan fundamennya.
Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya.
Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau tergantung
landasannya.
Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya
tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu
disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu
pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak
semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan
demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi
ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu
pengetahuan.
Begitu pentingnya fungsi metode ilmiah dalam
sains, sehingga banyak pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan
cenderung kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada
sains tanpa metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode. Sikap ini
mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai begitu tinggi terhadap
metode ilmiah, tanpa menyadari semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana
dari sains untuk mengukuhkan objektivitas dalam memahami sesuatu. Sesungguhnya
sikap berlebihan itu memang riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang
seharusnya tidak perlu terjadi, yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah
telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan
ilmu. Disini perlu dibedakan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu).
Pengetahuan adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih
berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur
berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya;
sistematis, objektif, logis dan empiris.
Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut
pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge),
sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah
pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari,
atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping
disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan
sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan
substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan perbedaan,
misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata
tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran
transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung
pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan
mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis,
tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk
wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif
F. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI,
METODE DAN METODOLOGI
Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi
metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui
kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Hal ini
perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering dikacaukan antara
metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi. Untuk mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini,
tampaknya perlu memahami terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam
dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk
dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji”.
Lebih jauh lagi
Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang
mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan
prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai
secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi
dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
metode.
Metodologi membahas konsep teoritik dari
berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan
dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian
mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian.
Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan
seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula
yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar
memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme,
sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu
yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan
paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh
bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode.
Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan
secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode
sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada
metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi
itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi
mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh
metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi
merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi
merupakan bagian dari filsafat.
Posisi masing-masing istilah ini, seperti
lingkaran besar yang melingkari lingkaran kecil, dan dalam lingkaran kecil
masih terdapat lingkaran yang lebih kecil lagi. Lingkaran besar disini
diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa epistemologi, dan lingkaran
yang lebih kecil kecuali berupa metodologi. Ini berarti bahwa filsafat mencakup
bahasan epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak hanya epistemologi
karena masih ada bahasan lain, yaitu ontologi dan aksiologi. Demikian juga epistemologi
mencakup bahasan metode (metodologi), namun bahasan epistemologi bukan
hanya metode semata-mata, karena ada bahasan lain, seperti: hakikat, sumber,
struktur, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran dan dasar
pengetahuan. Untuk lebih jelas lagi perlu dibedakan adanya metode pengetahuan
dan metode penelitian, kendatipun tidak bisa dipisahkan. Metode pengetahuan
berada dalam dataran filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada
dalam dataran teknis.
Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan
dengan praktek epistemologi. Secara lebih khusus, problem penyelidikan
ilmiah yang secara filosofis menjadi kajian utama cabang epistemologi
yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata
pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan. Kemudian berbicara tentang metodologi yang berarti berbicara
tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan oleh manusia untuk mencapai
pengetahuan tentang realita atau kebenaran, baik dalam aspek parsial atau
total. Lebih jelas lagi, bahwa seseorang yang sedang mempertimbangkan
penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus
mengacu pada metodologi, mengingat pembahasan tentang seluk-beluk metode itu
ada pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan
konseptual dan teoritis terhadap metode.
G. HAKIKAT EPISTEMOLOGI
Pembahasan tentang hakikat, lagi-lagi terasa
sulit, karena ita tidak bisa menangkapnya, kecuali ciri-cirinya. Apalagi
hakikat epistemologi, tentu lebih sulit lagi. Epistemologi berusaha
memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok,
mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang
bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral
epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata
masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok
Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk
dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu
berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind.
Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi
yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian
akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi
keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan
pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam
menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan
pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif
yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini
berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya
banyak sekali.
Oleh karena itu,
epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak
merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan
filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat
upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas
ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan
padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan
pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai,
epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi
merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan
metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan
darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan
biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar
pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi
takaran minat kita.
Luasnya
jangkauan epistemologi ini menyebabkan objek pembahasannya sangat detail
dan pelik. Metodologi
misalnya telah digabungan secara teliti dengan epistemologi dan logika.
Sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika itu bagian
dari epistemologi, diluar epistemologi sama sekali, atau sekedar
memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi. Ada yang menyatakan,
bahwa posisi logika berada diluar ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Di samping itu, epistemologi tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri
sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi dan aksiologi. Menurut, Jujun S.
Suriasumatri, bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dalam
pemahaman yang sederhana epistemologi memiliki interrelasi (saling
berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan aksiologi).
Selanjutnya, epistemologi atau teori
mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia
merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak
mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus
diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui;
dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan
demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek
pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada
objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga
tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek
yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah
berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan
bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia
menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari
gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia
menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya
ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan
jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan
kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui.
Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita
terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab
jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang
dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang
amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu
justru merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi
keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan
berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam
mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi
ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran
dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan
membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri
sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha
untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa
dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usah
membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir
tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi,
maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat
dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah
(gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di
sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya,
karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman
ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali,
sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara
berkesinambungan dan serius.
H. PENGARUH EPISTEMOLOGI
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah
teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi
berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu
pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap
dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan
kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang
temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh
temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan
demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif.
Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar.
Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan
prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui
pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan
tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses
terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil,
mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara
kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang
kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi
terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep
dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari
pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi.
Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang
membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran
yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu
terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan
supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi
bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik
eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi
senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan
memperkuat penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan
polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun
masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman seseorang atau masyarakat
akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi sosial
politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati
suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu
persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada
gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian
sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada
yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara
memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang,
sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya
Secara global epistemologi berpengaruh
terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori
pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari
filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari
masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu
mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari
ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan
pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa
fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh
kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat
yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah
produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang
terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika
dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu
berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua
bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis,
yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan
sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu
itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu
yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan
sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu
ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi
kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan
mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan pengetahuan,
kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi,
technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains).
Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari
filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi
dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi
bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.
suparmanhttp://www.blogger.com/profile/03249547895308622683noreply@blogger.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar