|
Disiplin Keilmuan Tradisional
Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(1/2)
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah
tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga
lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika
Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan
orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf
membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat
pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai
hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat
perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka
Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan
berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia,
sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam
agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu
Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang
menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam
sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya
sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati
posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti
dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id
(Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu
tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu
Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem
pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu
kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri
dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan
pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu
simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran
agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren
ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu
pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang
Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan
meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh
yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah
kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian
tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup
jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali
menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat
disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita,
khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai
dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad'
al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid),
mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh
seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari
kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya,
metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti
secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.
Pertumbuhan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam
juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari
disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait
dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita
akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III.
Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat
al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal
pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya
bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai
suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara
langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan,
dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam),
dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara
harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi
sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam
pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar
dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau
logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan
kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti
"pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan
logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab
manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan
Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab
"manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat
kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara
keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan
dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban
Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi
sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih
dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu
ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang
giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun,
meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau
Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan
Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan.
Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan
pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu
disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman
boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil
dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran.
Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus
dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat
dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus
dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung
mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham
Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya,
maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik
dan yang buruk.
Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi
pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan,
misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan
mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang
membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok
kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu
berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu
orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini
menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam
"Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis
dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka
memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan
sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti
sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan
Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang
palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan
Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu
Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi
kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya
'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash
selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang
disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum
Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah
pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika
pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah
kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak
mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang
'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn
Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum
Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan
(pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian
khusus kaum Mu'tazilah.[4]
Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham
Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang
bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu
pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan
kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran
Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles
yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan
alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal
keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala
dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah
seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi
(impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles
mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah
kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal
universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai
kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib,
pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya
sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep
Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang
mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat
("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah
("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah
justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka
kaum Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa
gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih
sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi,
kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional,
meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti
premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah
kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan
penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke
dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn
Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan
Falsafah.[6]
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai
kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin
oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab
Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya,
Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi,
inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad
ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7]
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah,
berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat
atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang
dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8]
Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu
hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan
perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi])
berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9]
Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas
kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh
pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang
Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu
pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka
kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur
positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah
perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga
Falsafah Islam."[10]
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar